Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) menerbitkan instrumen baru untuk menopang stabilitas rupiah. Instrumen ini adalah tambahan dari sederet ‘senjata’ yang dibuat BI untuk menjaga kekuatan rupiah, terutama dari gempuran dolar AS.
Hal itu terungkap dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar pada 23-24 Agustus 2023. Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan akan menerbitkan instrumen operasi moneter kontraksi, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengumumkan SRBI adalah instrumen tambahan untuk menjaga stabilitas rupiah selain yang sudah ada, yaitu intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
“Kita keluarkan SRBI, apa itu? SRBI itu kepanjangan adalah Sekuritas Rupiah BI. Kenapa disebut sekuritas karena ini sekuritisasi dari SBN yang dimiliki BI Rp 1.000 triliun,” ujarnya, dikutip Sabtu (26/8/2023).
Fungsi SRBI
Instrumen ini juga menjadi instrumen pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta untuk optimalisasi aset SBN yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying.
Perry mengungkapkan instrumen ini disebut sekuritas karena ini sekuritisasi dari SBN yang dimiliki BI.
“BI punya SBN lebih dari Rp 1.000 triliun, kita sekuritisasi kita jadikan underlying, kita terbitkan SRBI ini dengan tenor jangka pendek sampai dengan 12 bulan. Yang mau kita terbitkan yang mana 6, 9 dan 12,” kata Perry.
Kebijakan eksistensi instrumen ini mampu mencapai tujuannya dengan beberapa catatan. Penyerapan likuiditas dengan biaya rendah bisa didapatkan asalkan imbal hasil yang diberikan lebih baik, setidaknya harus sama dengan RR SBN.
Artinya ada kemungkinan persaingan dengan SBN, sebab keduanya bisa diperdagangkan dan dibeli oleh pihak asing. Koordinasi dibutuhkan antara BI dan pemerintah agar tidak terjadi perebutan dana.
Instrumen SRBI juga dimungkinkan tidak akan mengurangi jumlah SBN yang dimiliki BI lebih dari Rp 1.000 triliun, hasil dari burden sharing ketika pandemi covid-19. Meskipun BI masih menjual untuk tenor pendek dengan harapkan ada kenaikan yield dan mendorong adanya dana masuk (inflow).
Senjata BI Jaga Rupiah, Termasuk SRBI
Sebelum SRBI, BI sebenarnya sudah memiliki beberapa instrumen. Antara lain Transaksi Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN yang tujuannya adalah untuk menyerap likuiditas.
RR SBN memiliki karakteristik berbasis transaksi repo dengan underlying atau agunan SBN milik BI. Tenor 1 hari sampai dengan 12 bulan. Sistem imbal hasil simple interest. Minimal nominal transaksi Rp1 miliar namun tidak dapat dipindahtangankan.
Kemudian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau surat berharga yang dikeluarkan oleh BI dengan tujuan yang sama. Hanya karakteristiknya penerbitan surat berharga dengan sistem imbal hasil diskonto. Perbedaan lain adalah SBI bisa diperdagangkan.
Ada juga Sukuk Bank Indonesia atau disingkat SukBI yang tidak jauh berbeda, namun dijalankan dengan prinsip syariah. Imbal hasil dibayarkan pada waktu jatuh tempo.
Kini ada SRBI yang menurut BI tidak jauh berbeda dengan RR SBN namun bisa diperdagangkan. Tenor yang diberikan 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan. Sementara yield nantinya berdasarkan pasar namun tetap mengacu kepada suku bunga acuan.
“Nanti perbankan ikut lelang nanti apakah eksportir investor luar negeri, non residen boleh numpang ke perbankan untuk biding ke BI,” pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Rupiah Pecah Rekor, Ucapan 2 Pejabat Ini Ternyata Benar
(dce)
Sumber: www.cnbcindonesia.com