Asing Masih Borong SBN, Tapi Kok Yield-nya Naik?

Jakarta, CNBC Indonesia – Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN) terpantau naik pada perdagangan Senin (6/2/2023), di tengah masih kuatnya data tenaga kerja di Amerika Serikat (AS) yang membuat pasar kembali khawatir.

Read More

Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika yield naik, maka harga SBN akan turun, begitu juga sebaliknya.

Saat harga naik, artinya permintaan sedang rendah dan investor cenderung sedang melepas SBN.

Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya, yakni bertambah 9,5 basis poin (bp) ke level 6,663%.

Meski dilepas oleh investor, tetapi investor asing cenderung masih memburunya. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), sepanjang pekan lalu dari periode 30 Januari hingga 2 Februari, asing mencatatkan beli bersih (net buy) atau inflow Rp 5,42 triliun. Sedangkan dari periode 2 Januari hingga 2 Februari, asing mencatatkan inflow sebesar Rp 50,15 triliun.

Sementara itu berdasarkan data dari Direktorat Jendral engelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan RI, sepanjang pekan lalu dari 30 Januari hingga 3 Februari, asing mencatatkan inflow sebesar Rp 1,44 triliun. Sedangkan sepanjang tahun ini hingga 3 Februari, asing juga inflow sebesar Rp 49,57 triliun.

Besarnya inflow ke pasar obligasi sudah dimulai sejak November tahun lalu, sejak pelaku pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, dan ternyata benar kejadian.

The Fed Kamis pekan lalu menaikkan suku bunga 25 basis poin (bp) menjadi 4,5% – 4.75%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 50 bp.

Pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell, dalam konferensi pers pun disambut baik pelaku pasar

“Kami saat ini bisa mengatakan saya pikir untuk pertama kalinya proses disinflasi sudah dimulai,” kata Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (2/2/2023).

Artinya, inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncaknya, dan sedang memulai periode penurunan.

Meski begitu, data tenaga kerja AS ternyata masih cukup kuat, sehingga ekspektasi pasar akan terus melandainya laju kenaikan suku bunga cenderung berkurang dan The Fed bisa saja kembali agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya.

Secara mengejutkan, perekonomian Negeri Paman Sam mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 517 ribu orang sepanjang Januari 2023, berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi di atas survei Reuters sebanyak 185 ribu orang.

Kemudian, tingkat pengangguran yang diprediksi naik menjadi 3,6%, malah turun menjadi 3,4%. Rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari prediksi 4,3%.

Pasar tenaga kerja yang kuat, begitu juga dengan rata-rata upah berisiko membuat inflasi semakin sulit untuk turun ke target The Fed sebesar 2%.

Artinya, ada risiko The Fed kembali akan agresif menaikkan suku bunga dan suku bunga tinggi ditahan lebih lama lagi.

Analis dari JPMorgan, Mike Bell, sudah memberikan prediksi tersebut. Jika The Fed bertindak di luar eksepektasi pasar, maka Wall Street dan obligasi AS (US Treasury) akan kembali rontok.

Untuk diketahui, pasar saat ini memprediksi puncak suku bunga The Fed berada di kisaran 4,75% – 5%, artinya akan ada kenaikan satu kali lagi sebesar 25 basis poin pada bulan Maret.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Inflasi Nyaris Sentuh 6%, Investor Justru Buru SBN Hari Ini

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts