Awas! Eksportir Bawa Kabur Dolar AS Bikin RI Rawan Bobrok

Jakarta, CNBC Indonesia – Surplus neraca perdagangan RI selama 31 bulan beruntun tidak lantas membuat cadangan devisa Indonesia menguat. Pasalnya meskipun ekspor meningkat tajam, devisa hasil ekspor (DHE) masih banyak yang dibawa lari eksportir ke luar negeri.

Read More

Ini pada akhirnya membuat Indonesia tidak memiliki bantalan devisa yang besar ketika terjadi goncangan ekonomi global. Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Iskandar Simorangkir kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/1/2023).

“Jadi kalau kita belajar dari negara lain mereka punya bantalan devisa besar ketika terjadi global ekonomi shock, maka dari itu kita harus tata kembali (aturan DHE) melalui PP 1/2019,” ujar Iskandar.

Padahal, menurut Iskandar angka surplus Indonesia yang cukup besar di tahun 2022 akibat adanya ledakan komoditas seharusnya mampu menaikkan jumlah cadev Indonesia. Namun sayangnya, kondisi itu justru berbalik, cadev Indonesia mala turun cukup signifikan di tahun 2022.

“Kalau kita lihat data ternyata Indonesia itu kan sudah 31 bulan berturut neraca perdagangan surplus, bahkan kalau kita lihat pertahunnya setelah defisit neraca perdagangan kita di 2019, tahun 2020 kita surplus keseluruhan USD 21,62 miliar, 2021 surplus USD 35,34 miliar, sementara Januari sampai dengan November tahun ini surplus USD 50,59 miliar,” terangnya.

“Coba kita bandingkan dengan cadev kita setelah mencapai puncak tertinggi di September 2021 dgn cadangan devisa USD 146,9 miliar itu terus konsisten menurun sehingga mencapai titik terendahnya di Oktober 2022 sebesar USD 130,2 miliar, baru di bulan terakhir memang terjadi peningkatan USD 134 miliar di bulan November dan di Desember sebesar USD 137,2 miliar,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Iskandar mengatakan guna mempersiapkan cadangan devisa yang cukup, maka pemerintah belajar dari negara lain dalam mengatur DHE, diantaranya Thailand dan Malaysia. Kedua negara ini memberlakukan aturan wajib penyimpanan DHE di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu sehingga negara memiliki cadangan devisa yang kuat.

“Maka itu kita lihat negara lain, Thailand itu 30% DHE-nya wajib dikonversi ke dalam bank, itu ditahan paling cepat 1 tahun. Jadi berarti otoritas moneter mendapatkan devisanya, yang dijual kepada otoritas moneternya kemudian ditahan selama 1 tahun. Dalam hal kurang dari 1 tahun, 30% itu jadi jaminan deposit dia hanya dapat 2/3 dari 30% tadi,” jelasnya.

Seperti diketahui DHE SDA diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019. Dalam aturan tersebut, pemerintah hanya mewajibkan eksportir di sektor sumber daya alam untuk melaporkan dan memasukkan DHE mereka ke rekening khusus di bank persepsi dan melaporkannya ke BI.

Jika dalam kurun waktu tiga bulan setelah ekspor DHE belum masuk maka BI akan menghubungi eksportir untuk melakukan pelunasan. Namun ketika bulan ketujuh belum ada pelaporan maka BI akan meminta Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk menerbitkan surat tagihan. Dengan kewajiban pelaporan ini, eksportir tidak lantas menaruh DHE di dalam bank dalam negeri dalam periode tertentu atau mengkonversinya dari dolar AS ke rupiah.

Untuk itu, lanjut Iskandar saat ini pemerintah tengah mengkaji ulang PP No. 1 Tahun 2019 tersebut dalam rangka mengatur lalu lintas DHE dan mendorong DHE agar diparkirkan para eksportir di dalam negeri.

“Jadi memang bentuknya apa terus dikaji bentuk paling optimal untuk Indonesia, apakah akan ditambah sektornya kayak kata Pak Airlangga, atau kayak Thailand, Malaysia itu 75% wajib dikonversi ke dalam ringgit, Turki 80% wajib dikonversi ke lira. Masih dikaji terus,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ratusan Eksportir Bawa Kabur Dolar AS, Jumlahnya Fantastis!

(mij/mij)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts