Banyak Data Penting! Waspada, Salah Sedikit IHSG Bisa Ambruk

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Tanah Air pekan ini cenderung bergerak beragam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghentikan penguatan dua pekan beruntun, sementara rupiah melanjutkan kinerja impresifnya melawan dolar Amerika pekan ini. Lantas mampukah pasar keuangan melanjutkan kinerja positifnya pekan depan?

Read More

Indeks acuan Tanah Air tersebut tercatat melemah tipis 0,18% ke 6.792,76. Dalam empat hari perdagangan, IHSG masing-masing menguat dan melemah dua kali. Meski melemah, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,9 triliun, dan jika ditambah dengan pasar nego dan tunai nilainya bertambah menjadi Rp 2,5 triliun.

Pergerakan IHSG cenderung searah dengan bursa saham AS (Wall Street) yang juga melemah. Pelaku pasar menanti rilis data tenaga kerja AS versi pemerintah yang dirilis Jumat kemarin.

Data tersebut merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneternya. Data yang dirilis Jumat kemarin menunjukkan pasar tenaga kerja masih kuat. Sepanjang Maret perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap 236.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), sejalan dengan ekspektasi analis.

Kemudian, tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% dari sebelumnya 3,6%. Rata-rata upah per jam naik 4,2% year-on-year, tetapi menjadi yang terendah sejak Juni 2021.

Sementara, Mata uang Garuda tercatat menguat 0,53% ke Rp 14.910/US$. Rupiah kini sudah menguat 4 pekan beruntun dengan total 3,5%. Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi mata uang terbaik Asia sepanjang tahun ini dengan penguatan 4,4%, dan menjadi yang terbaik ke-enam di dunia.

Rupiah mulai menguat setelah Silicon Valley Bank (SVB) kolaps di Amerika Serikat, hal ini membuat The Fed diprediksi tidak agresif lagi dalam menaikkan suku bunga.

Mampukah kinerja pasar keuangan cemerlang pekan depan? setidaknya para pelaku pasar patut menyimak beberapa sentimen utama yang akan menggerakkan pasar pekan depan.

Pertama, investor masih cenderung mencermati data-data penting dari ekonomi AS terutama data tenaga kerja yang baru rilis. Sikap investor cenderung wait and see setelah sebelumnya tanda-tanda perekonomian AS merosot semakin terlihat. Institute for Supply Management (ISM) melaporkan kontraksi sektor manufaktur semakin dalam pada Maret.

Purchasing Managers’ Index(PMI) dilaporkan sebesar 46,3, sudah mengalami kontraksi (di bawah 50) selama 5 bulan beruntun dan berada di level terendah sejak Mei 2020.

Namun, dengan pasar tenaga kerja yang masih kuat dan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang sulit turun membuat pasar kembali memprediksi bank sentral AS (The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga pada Mei.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa sentimen The Fed masih menjadi momok mengerikan bagi pasar finansial Tanah Air.

Ketegangan antara suku bunga dan harga saham akan tetap terjadi pekan depan, karena investor terus mencerna indikasi sikap The Fed yang cenderung masihhawkishhingga beberapa bulan ke depan.Selain itu, ada ekonomi dua raksasa dunia yang juga merupakan partner dagang utama RI, China dan Amerika Serikat.

Dari Amerika di awal pekan nanti Senin (10/4/2023) akan ada rilis data ekonomi penting terkait data ekspektasi inflasi konsumen. Pada hari berikutnya kita juga akan disuguhkan dengan pidato pejabat The Fed yang akan memberikan sinyal terkait suku bunga.

Pekan ini fokus utama pelaku pasar adalah data inflasi AS yang bakal dirilis pada Rabu (12/4/2023). Ini tentunya menjadi indikator utama bagaimana The Fed akan mengambil langkah ke depannya.



Untuk diketahui, inflasi Amerika Serikat (AS) naik pada Februari 2023.Indeks harga konsumen (CPI) meningkat 0,4% pada Februari, menempatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 6%. Laporan tersebut persis sejalan dengan perkiraan Dow Jones.

Tidak termasuk harga makanan dan energi, CPI inti juga naik 0,5% pada Februari dan 5,5% dalam basis 12 bulan. Laporan bulanan tersebut sedikit di atas perkiraan 0,4%, tetapi tingkat tahunan sesuai dengan prediksi.

Bagi The Fed, CPI bulanan yang mengukur harga sekeranjang barang dan jasa, telah menjadi titik data utama dalam keputusannya untuk menaikkan suku bunga selama setahun terakhir. Sejak Maret tahun lalu, suku bunga naik dari nol menjadi 4,5% menjadi 4,75%, level tertinggi sejak 2007.

Sementara, dari Negeri Tirai Bambu pekan depan kita akan disuguhkan dengan data inflasi dan indeks harga produsen (PPI). Tak kalah penting, Pekan ini investor fokus mengamati rilis data neraca perdagangan terkait ekspor-impor China. Ini akan memberikan gambaran bagaimana ekonomi China bangkit pasca tertekan akibat Covid-19 beberapa waktu belakangan.

Dari dalam negeri, tentunya ada sejumlah data ekonomi penting yang patut dinantikan pelaku pasar diantaranya akan ada rilis penjualan retail pada periode Februari 2023.

Untuk diketahui Penjualan ritel di Indonesia turun 0,6% secara yoy pada Januari 2023. Ini adalah penurunan penjualan ritel pertama sejak September 2021, di tengah lemahnya konsumsi akibat biaya pinjaman yang lebih tinggi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Market Focus: Risiko Pelemahan Rupiah Hingga Inflasi November

(aum/aum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts