BCA Pernah Nyaris Bangkrut Saat di Bawah Kendali Salim

Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Central Asia (BCA) menjadi bank swasta terbesar di Indonesia sejak pendiriannya pada 21 Februari 1957. BCA pun menjadi pionir sistem perbankan, seperti pembuat kartu ATM pertama, sistem tabungan pertama, kartu kredit pertama, dan menjadi bank asal Indonesia pertama yang merambah daratan Asia.

Read More

Keberhasilan ini dilakukan berkat tangan dingin pemiliknya Liem Sioe Liong dan direktur BCA, Mochtar Riady, yang kelak menjadi bos Lippo Group dan mendirikan Bank Lippo.

Namun, seluruh kejayaan itu sirna pada Juli 1997. Penyebab utamanya adalah badai krisis moneter.

Kala itu, pelemahan kurs rupiah, kenaikan harga bahan pokok dan desas-desus kegagalan pemerintah mengatasi krisis membuat nasabah BCA menarik uangnya di tabungan. Ini dilakukan bukan hanya 1-2 orang, tetapi oleh ribuan nasabah BCA hingga akhir tahun.

Mereka mengambil dananya secara massal dan besar-besaran. Setiap kantor cabang dan mesin ATM selalu dipadati nasabah. Antrean pun mengular panjang.

Peristiwa rush money itu lantas membuat BCA, yang saat itu memiliki ribuan pegawai dan ratusan cabang, kritis karena berkurangnya dana operasional. Presiden B.J Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan (2006) menceritakan bahwa kejadian itu memaksa BCA menutup 16 kantor cabang dan terpaksa meminjam dana ke Bank Indonesia lewat skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar tidak bangkrut pada November 1997.

“Tetapi bantuan likuiditas tersebut dapat dikembalikan kepada Bank Indonesia setelah arus penarikan simpanan mereda dan nasabah mulai menempatkan dananya kembali,” tulis Habibie.

Setelah peristiwa ini BCA bisa bernapas lega. Namun, keberuntungan pada dasarnya tidak datang dua kali.

Enam bulan setelah badai pertama sukses dilewati, badai kedua yang lebih besar membuat BCA tak berkutik.

Kegagalan pemerintah mengatasi krisis keuangan memantik pergolakan rakyat. Dari sini sentimen terhadap Presiden Soeharto dan kroni-kroninya meningkat. Dan kroni terbesarnya kala itu adalah pemilik BCA, yakni Liem Sioe Liong atau Sudono Salim.

Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebut masyarakat yang sentimen terhadap Soeharto dan Tionghoa menjadikan BCA sebagai target utama serangan. Akibatnya, nasabah kembali melakukan rush money dalam skala yang lebih besar. Kompas (14 Mei 1998) mewartakan bahwa nasabah bisa menunggu berjam-jam saking panjangnya antrean.

Tak hanya itu, selama bulan Mei 1998, tercatat 122 kantor cabang rusak (17 kantor terbakar habis, 26 cabang dirusak dan dijarah, serta 75 cabang rusak tetapi tidak dijarah) dan 150 mesin ATM dibobol hingga rugi Rp 3 miliar. Seluruh kerugian ini belum memperhitungkan efek keuangan dari penarikan uang nasabah besar-besaran.

Badai kedua kali ini membuat BCA tidak selamat. Pada 28 Mei 1998, BCA yang kala itu dimiliki Salim Group diambil alih oleh pemerintah karena kondisi keuangannya yang semakin berdarah-darah tak tertolong.

Pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi menjadikan BCA sebagai BTO (Bank Taken Over). Pengambilalihan ini bertujuan untuk menolong BCA agar tidak jatuh terlalu dalam. Dikhawatirkan, jika tidak diambil negara, BCA bakal bangkrut dan memberikan efek domino besar terhadap perekonomian Indonesia.

Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), untuk membangkitkan kembali BCA pemerintah berencana menjual saham lewat mekanisme di bursa efek pada 1999. Harga yang ditawarkan sebesar Rp 1.400 per lembar saham.

Naas, karena besarnya kebencian masyarakat terhadap BCA membuat saham tersebut baru laku di tahun 2002. Sebagai informasi, Presiden Megawati menjual 51% saham BCA kepada publik.

Tercatat, ada 15 calon pembeli yang kemudian mengerucut menjadi tiga, antara lain Standard Chartered Bank yang terafiliasi dengan pemerintah Singapura, lalu perusahaan investasi AS Farallon yang terkait keluarga Hartono pemilik Djarum, dan terakhir Bank Mega yang dimiliki pengusaha Chairul Tanjung.

Singkat cerita, pada Februari 2002, persaingan merebut BCA dimenangkan oleh Farallon yang berani membeli BCA senilai US$ 530 juta. Sejak saat itu, keluarga Salim tak lagi memiliki BCA seutuhnya.

Kemudian, sekitar 2007, Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

Kini, di tangan pemilik baru BCA telah bangkit dari badai krisis dan menjelma sebagai perusahaan bank jumbo. Sejak 66 tahun berdiri, BCA tetap mempertahankan predikat sebagai bank swasta terbaik di Indonesia dan nilai kapitalisasi saat ini lebih dari Rp 1.000 triliun.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Sosok ‘Guru’ Salim yang Beli Mall Super Mewah Singapura

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts