penyebabsakit.com

BI Waspada! Global Masih Gonjang Ganjing, Asing Bisa Kabur

Jakarta, CNCB Indonesia – Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (17/2/2023) secara tegas menyatakan suku bunga saat ini sudah cukup untuk menahan laju inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

“Kita memandang meyakini suku bunga acuan memadai dalam arti tidak dibutuhkan kenaikan lagi, itulah stance dari kebijakan moneter,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).

Memang setelah menaikkan suku bunga sebanyak enam kali sebesar 225 basis poin menjadi 5,75%, inflasi di Indonesia terus melandai. Nilai tukar rupiah pun cukup stabil, bahkan sepanjang tahun ini mencatat penguatan sekitar 2,3%.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT


Salah satu faktor yang memicu penguatan rupiah yakni aliran modal asing yang kembali masuk ke pasar obligasi, bahkan sangat besar pada Januari.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR), capital inflow di pasar obligasi nyaris mencapai Rp 50 triliun. Jika dilihat lebih ke belakang, inflow sudah terjadi sejak bulan November dan nilainya terus menanjak.

Namun, risiko arah angin berbalik cukup besar. Sebab ada kemungkinan bank sentral AS (The Fed) kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya. Inflasi di Amerika Serikat yang masih susah turun menjadi alasannya.


“Harusnya BI jangan over confidence ya, karena tekanan eksternal masih cukup dinamis,” ungkap Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/2/2023)

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pelaku pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga pada Maret, Mei dan Juni masing-masing 25 basis poin. Probabilitas kenaikan pada Juni pun lumayan tinggi, 53%.

Jika terealisasi, maka suku bunga The Fed pada Juni akan mencapai 5,25% – 5,5%. Jika BI tidak menaikkan suku bunga lagi, maka spread suku bunga hanya sekitar 25 basis poin saja.


Foto: CME Group

Yield obligasi AS (Treasury) juga menanjak selisihnya dengan Surat Berharga Negara (SBN) akan semakin tipis, risiko capital outflow pun cukup besar. Rupiah akan rentan lagi, dan jika merosot tentunya ada risiko inflasi akan kembali menanjak.

Pasar obligasi pun kembali mengalami capital outflow pada bulan ini. Hingga 14 Februari, tercatat outflow sebesar Rp 2,7 triliun.

CEO JPMorgan, Jamie Dimon pada Januari lalu bahkan menyatakan The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga ke level 6% untuk melawan inflasi.

Dalam wawancara dengan Fox Business Selasa (10/1) pagi waktu New York, Dimon menyebut bahwa bank sentral harus menaikkan suku bunga ke tingkat 5% lalu kemudian mengambil jeda. Dia mengatakan jeda tersebut dilakukan untuk membiarkan para bankir dan ekonom melihat bagaimana ekonomi bereaksi dan apakah inflasi dapat mereda.

Dimon mengatakan jeda tersebut dapat mengungkapkan fakta dan data baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dalam memerangi inflasi tinggi di AS.

“Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang,” katanya. “Tapi yang pasti akan turun sedikit.”

Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut “mungkin saja 6%.”

Dengan kondisi tersebut, BI tentunya akan menyesuaikan suku bunga lagi agar pasar finansial dalam negeri tidak mengalami gejolak.

“BI mungkin sekarang tahan suku bunga, tapi begitu ramadhan-lebaran inflasi pangan dan sisi permintaan mulai naik tidak menutup kemungkinan BI akan naikan bunga sebesar 25-50 bps,” terang Bhima.

“Kalaupun BI pede tidak naikkan bunga, maka sebaiknya kebijakan DHE (devisa hasil ekspor) yang wajib ditahan langsung di implementasikan sehingga ada penguatan kurs tanpa perlu suku bunga yang agresif,” tegasnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Fakta! Di Dunia Cuma 3 Mata Uang Yang Menguat Lawan Dolar AS

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version