penyebabsakit.com

Bukti RI Bisa Terimbas Jika Eropa Singkirkan Gas & Batu Bara

Jakarta, CNBC Indonesia – Dengan musim dingin mencekam yang masih mengintai, Eropa kembali melirik batu bara, sumber energi yang ingin ‘diberantas’ karena memiliki tingkat emisi karbon tinggi. Sebagian energi fosil yang jadi juru selamat Eropa saat ini tersebut, ternyata berasal dari Indonesia, dikirimkan dari sejumlah pelabuhan di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Tahun ini harga batu bara meroket tajam dikarenakan peningkatan permintaan pasca melandainya pandemi covid-19, lalu diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina yang menjadi biang kerok krisis energi di Eropa.

Eropa yang ketar-ketar mengalihkan pasokan listrik yang berasal dari gas alam, mencari alternatif dari ujung ke ujung dunia. Selain Indonesia, Eropa juga ikut mengimpor batu bara dari Kolombia hingga Afrika Selatan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama ini, batu bara RI memang secara periodik diekspor hingga ke Eropa. Akan tetapi jumlahnya terus turun dan relatif kecil, mengingat jarak yang jauh dan kualitas yang kurang prima menjadi hambatan utama. Akan tetapi tahun lalu semuanya berbalik arah.

Sembilan bulan terakhir tahun lalu, kala Eropa kembali menghamba pada batu bara, RI mencatatkan rekor ekspor komoditas unggulannya ke benua Biru.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa tahun lalu ekspor batu bara ke Eropa menjadi yang terbesar dalam satu dekade. Sampai akhir tahun, ekspor batu bara ke Eropa diperkirakan akan mencapai 6,6 juta ton, mengalahkan rekor sebelumnya di tahun 2012 sebanyak 6,2 juta ton.

ESDM juga menyebut hingga November 2022, Polandia menjadi tujuan utama ekspor batu bara RI dengan jumlah 2,1 juta ton, lalu diikuti Belanda dan Italia masing-masing 1,3 juta ton dan 1,2 juta ton.

Angka yang mirip juga diungkapkan oleh Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI). Sebelumnya, Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengungkapkan ekspor batu bara RI ke Eropa diperkirakan bisa mencapai 5 juta ton hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, data Refinitiv mencatat bahwa tahun ini jumlah batu bara yang dikirimkan dari pelabuhan di Indonesia dan telah sampai di pelabuhan berbagai negara Eropa mencapai 5,64 juta ton. Angka tersebut naik signifikan dari catatan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 862 ribu ton.


Pengiriman batu bara RI perlahan merangkak naik pasca invasi Rusia ke Ukraina. Setelahnya angka ini langsung meningkat tajam jelang musim dingin, mengingat Eropa perlu mengamankan pasokan energinya.

Data Refinitiv menyebut bahwa tujuan utama ekspor batu bara RI ke Eropa adalah Polandia, Spanyol, Italia dan Belanda. Keempat negara tersebut berkontribusi atas 71% batu bara yang diimpor dari Eropa dari Indonesia. Meski demikian tidak diketahui pasti, ke negara mana batu bara itu akan berakhir, mengingat pelacakan hanya dilakukan dari pelabuhan ke pelabuhan. Polandia yang berbatasan langsung dengan Jerman, bisa saja hanya menjadi tempat singgah yang kemudian diteruskan ke negara ekonomi terbesar Eropa tersebut.

Sementara itu, dari Indonesia, batu bara dikirimkan dari pelabuhan yang berlokasi di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Pelabuhan Taboneo di Banjarmasin menjadi pemimpin dengan pengiriman tahun ini mencapai 1,47 juta ton. Sejumlah perusahaan diketahui menggunakan terminal batu bara ini, termasuk Adaro Energy Indonesia (ADRO). Lalu ada juga batu bara dari pelabuhan Samarinda yang mayoritas dikirimkan Polandia.

Senada, 77% batu bara yang dikirimkan dari Muara Pantai Loading Anchorage juga berakhir di Polandia. Muara Pantai sendiri diketahui merupakan terminal batu bara milik salah satu perusahaan raksasa Berau Coal.

Kemudian ada juga batu bara Tarahan Coal Terminal yang negara tujuan utamanya adalah Kroasia. Tarahan merupakan terminal batu bara milik emiten BUMN Bukit Asam (PTBA).


Saat ini di seluruh Eropa, industri kembali bersandar pada batu bara – termasuk dari Indonesia – untuk tetap beroperasi karena tingginya harga gas.

Dalam dua minggu pertama bulan Desember, Uni Eropa menghasilkan 22% listrik dari batu bara dan lignit yang juga dikenal sebagai batu bara coklat (brown coal). Angka tersebut naik dari 17% pada periode yang sama tahun lalu dan dari rata-rata 15% untuk keseluruhan tahun 2021, menurut data Ember, sebuah Think Tank yang bertujuan untuk mempercepat peralihan dari batu bara. Pada periode yang sama Jerman menghasilkan 49% lebih banyak listrik dari batu bara dan 6% lebih banyak dengan lignit dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut data EnAppSys Ltd.

Saat ini di seluruh Eropa, industri kembali bersandar pada batu bara – termasuk dari Indonesia – untuk tetap beroperasi karena tingginya harga gas.

‘Singkirkan’ Gas Alam & Batu Bara

Pejabat di Brussels berencana merombak pasar listrik Uni Eropa untuk memprioritaskan energi terbarukan yang lebih murah, meskipun ada peringatan dari pelaku industri bahwa reformasi tersebut dapat menghambat investasi di pembangkit listrik tenaga angin dan matahari.
Proposal tersebut datang setelah tekanan berbulan-bulan dari sejumlah negara anggota, terutama Perancis dan Spanyol, yang mendesak komisi energi UE untuk mengakhiri sistem di mana bahan bakar yang paling mahal di blok – saat ini gas, diikuti oleh batu bara – menjadi acuan untuk menetapkan harga untuk semua listrik yang dihasilkan.

Harga listrik yang melonjak di Eropa nyaris setahun terakhir terjadi karena mekanisme pasar dan perdagangan tenaga listrik yang relatif berbeda dengan kawasan dunia lain.Pasar listrik Eropa menggunakan skema marginal pricing atau yang lebih dikenal dengan “merit order” yang memprioritaskan energi yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan listrik, namun harga dipatok oleh produsen dengan biaya paling tinggi.

Secara sederhana UE akan melelang pasokan listrik kepada sejumlah produsen, dengan harga yang murah diutamakan lalu dilanjutkan dengan tertinggi yang masuk dalam penawaran untuk memenuhi pasokan energi akan dijadikan patokan. UE kemudian membeli dengan harga patokan tertinggi tersebut, tanpa melihat dari mana sumber listrik dihasilkan.

Artinya perusahaan produsen listrik energi terbarukan dengan biaya produksi lebih murah akan memperoleh keuntungan lebih besar dan pada akhirnya ini menjadi insentif bagi pengusaha untuk mengembangkan ladang angin dan panel surya.

Selama ini aturan tersebut tidak mengalami kendala signifikan, karena gas semula dapat diandalkan. Akan tetapi karena krisis baru-baru ini harga patokan tersebut naik signifikan. Sebagai gambaran, untuk memenuhi seluruh energi Eropa akan dibutuhkan gas sebagai sumber energi yang paling mahal. Pada Agustus 2020 harga pasar listrik Eropa sekitar 50 euro per MWh sedangkan pada Agustus 2022 lalu melonjak di atas 300 euro per MWh.

Aturan ini menguras kantong masyarakat Eropa, khususnya yang memperoleh listrik dari sumber terbarukan yang lebih murah, namun tetap harus membayar pada harga yang sama seolah-olah mereka memperoleh listrik dari gas.

Sebaliknya pembangkit listrik dari sumber terbarukan menjadi pihak yang paling diuntungkan, karena UE membeli di harga yang sama dengan listrik dari gas, padahal biaya produksinya rendah sekali.

Perusahaan listrik dari energi terbarukan yang cuan besar telah dikenakan windfall tax yang hasilnya diteruskan ke konsumen dan direncanakan akan diperpanjang hingga akhir tahun 2023.

Energi terbarukan menyumbang sekitar dua per lima produksi listrik Eropa pada tahun 2020, dengan 36% berasal dari bahan bakar fosil dan 25% dari nuklir, menurut data Komisi Eropa.

Bauran tersebut secara tidak langsung menjadikan harga energi terbarukan sering kali dipatok menggunakan harga bahan bakar fosil. Hal ini yang sejatinya ingin diubah.

Financial Times menyebut komisi energi EU menyarankan untuk membuat energi terbarukan lebih mencerminkan “biaya produksi sebenarnya”, mengingat begitu infrastruktur dibangun, sumber energi untuk ladang angin atau panel surya pada dasarnya dapat dikatakan gratis.

Artinya skema marginal pricing berencana untuk dihapuskan.

Prancis, penghasil tenaga nuklir terbesar di UE, dan Spanyol yang menghasilkan hampir separuh listrik dari energi terbarukan, telah menjadi pendukung paling vokal untuk pemisahan gas dan harga energi terbarukan. Hal ini wajar, karena meski kedua negara tersebut memproduksi listrik dengan harga murah, penduduknya tetap harus membayar di harga yang mahal.

Meski demikian sejumlah pelaku industri ikut berang dan mengatakan proposal Brussels akan merusak kontrak jangka panjang seperti perjanjian pembelian listrik (PPA). Ini didasarkan pada harga rata-rata selama masa kontrak dan memastikan pengembang menerima return investasi mereka.

Jika aturan baru disahkan, hal ini akan menjadi realitas pelik bagi pengusaha PLTU batu bara dan gas. PPA sendiri bisa bernilai ratusan juta euro karena dan bertahan 10 atau 15 tahun. Artinya jika fundamental pasar tiba-tiba berubah, investasi yang telah ditanam berpotensi ikut melayang.

Aturan tersebut juga berpotensi akan berpengaruh pada harga acuan gas dan batu bara global.

Parlemen Uni Eropa mengatakan akan meluncurkan konsultasi tentang kemungkinan reformasi, dan menerbitkan proposal lengkap pada akhir Maret.

Uni Eropa meminta negara-negara anggota untuk memotong konsumsi gas sekitar 15% dan telah menyetujui windfall tax sementara juga diberlakukan kepada perusahaan minyak dan gas.

UE sebelumnya juga telah menentukan batas atas harga grosir energi dari gas untuk meringankan beban masyarakat. Harga tersebut ditetapkan di 180 euro/MWh, untuk mencegahnya potensi kenaikan kembali ke rekor tertinggi Agustus sebesar 340 euro/MWh dan telah ditandatangani oleh para menteri pada bulan Desember.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ekspor Rusia ke China Naik, Batu Bara RI Masih Menarik?

(fsd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version