Bursa Asia Ditutup Beragam, Hang Seng-KOSPI Malah Melesat

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik ditutup kembali beragam pada perdagangan Rabu (4/1/2023), di tengah ramalan kondisi ekonomi global di 2023 yang cenderung memburuk menurut Dana Moneter Internasional.

Read More

Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling ‘moncer’ pada hari ini, yakni melejit 3,22% ke 20.793,109, sedangkan Shanghai Composite China menguat 0,22% ke 3.123,52, ASX 200 Australia melesat 1,63% ke 7.059,2, dan KOSPI Korea Selatan melonjak 1,68% menjadi 2.255,98.

Saham teknologi, kesehatan, dan properti menjadi pendorong Hang Seng pada hari ini, meski ada ramalan buruk terkait kondisi ekonomi global di tahun 2023.

Saham properti China di Hong Kong seperti Country Garden Services dan Longfor Group mengalami kenaikan terbesar, dengan keduanya naik hampir 10% pada penutupan perdagangan hari ini.

Sedangkan saham kesehatan seperti Alibaba Health Information Technology melonjak 8,87% dan saham Hansoh Pharmaceutical Group melompat 7,42%.

Selanjutnya, saham teknologi China yang terdaftar di bursa Hong Kong seperti Baidu melompat 6,97%, Alibaba melonjak 6,88%, setelah Ant Group menerima persetujuan untuk memperluas bisnis pembiayaan konsumennya. Terakhir, saham Netease juga melesat 5,23%.

Namun, beberapa bursa Asia-Pasifik ditutup di zona merah pada hari ini, seperti indeks Nikkei 225 Jepang yang ditutup ambles 1,45% ke posisi 25.716,9, Straits Times Singapura turun 0,1% ke 3.242,46, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir merosot 1,1% menjadi 6.813,24.

Dari Jepang, data final dari aktivitas manufaktur di Jepang pada Desember 2022 kembali menurun. Data aktivitas manufaktur Jepang berdasarkan purchasing manager’s index (PMI) versi Jibun Bank pada Desember 2022 turun menjadi 48,9, dari sebelumnya pada November 2022 di angka 49.

Meskipun sedikit lebih tinggi dari angka flash reading di 48,8, tetapi angka tersebut merupakan yang terlemah sejak Oktober 2020 dan menandai bulan kedua di bawah garis 50 yang memisahkan kontraksi dari ekspansi.

Dengan ini, maka sektor manufaktur Jepamg masih berkontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

“Penurunan sebagian besar berpusat di sekitar lingkungan permintaan saat ini yang lemah baik secara internasional maupun domestik,” kata Laura Denman, ekonom di S&P Global Market Intelligence, yang menyusun survei tersebut, dikutip dari Channel News Asia.

Di lain sisi, sebagian besar pelaku pasar di kawasan Asia-Pasifik cenderung khawatir setelah mendengar ramalan dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang memprediksi bahwa sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi.

Pasalnya, tiga mesin utama ekonomi dunia yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa bakal melambat.

“Kami memperkirakan sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi. Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang,” ujar Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan CBS Face the Nation, dikutip Rabu (4/1/2023).

Di China, menurut Georgieva, laju ekonomi China pada 2022 kemungkinan di bawah pertumbuhan ekonomi global untuk pertama kalinya dalam 40 tahun terakhir karena lonjakan kasus Covid-19.

“Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global,” kata Georgieva.

Peningkatan kasus Covid-19 setidaknya setahun terakhir membuat Negeri Tirai Bambu tersebut menerapkan sejumlah pembatasan yang membuat aktivitas ekonomi kembali terhambat.

Bahkan, lonjakan baru kasus Covid-19 yang diperkirakan terjadi di China dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.

“Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif,” ujar Georgieva.

Dalam perkiraan pada Oktober 2022, IMF mematok pertumbuhan produk Domestik Bruto (PDB) China tahun lalu sebesar 3,2%, atau setara dengan prospek global IMF untuk 2022.

Sementara itu, kata Georgieva, ekonomi AS berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan akan menimpa sepertiga dari ekonomi dunia.

“AS paling tangguh, dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja tetap cukup kuat,” katanya.

Namun, fakta itu sendiri menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam membawa inflasi AS kembali ke level yang ditargetkan sebesar 2%.

“Ini adalah … berkah campuran karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi,” kata Georgieva.

Tahun lalu, dalam pengetatan kebijakan yang paling agresif sejak awal 1980-an, The Fed menaikkan suku bunga acuannya dari mendekati nol pada Maret ke kisaran saat ini 4,25% hingga 4,50%, dan pejabat The Fed bulan lalu memproyeksikan akan menembus batas 5% pada 2023, level yang tidak terlihat sejak 2007.

Adapun, pasar tenaga kerja AS akan menjadi fokus utama bagi pelaku pasar dan para pejabat The Fed, di mana pejabat The Fed ingin melihat permintaan tenaga kerja berkurang untuk membantu mengurangi tekanan harga.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Kabar Baik Buat IHSG, Wall Street Cerah, Bursa Asia Meroket!

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts