Cadangan Devisa RI Turun, Rupiah Lanjutkan Tren Pelemahan

Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah data ekonomi Indonesia yakni cadangan devisa (cadev) mengalami penurunan serta kontraksi ekspor dan impor di China.

Read More

Merujuk dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,20% terhadap dolar AS di angka Rp15.320/US$ pada hari Kamis (7/9/2023). Posisi ini melanjutkan tren pelemahannya sejak 1 September 2023 dan menjadi yang terlemah sejak 21 Agustus 2023.

Sejalan dengan indeks dolar AS (DXY) yang mengalami apresiasi di angka 104,96 atau naik dari hari kemarin yang ditutup di angka 104,86 sehingga melemahkan nilai rupiah.



Sentimen negatif datang dari cadangan devisa (cadev) Indonesia yang dirilis Bank Indonesia (BI) turun dari periode sebelumnya. Pada periode Agustus tercatat cadev Indonesia berada di kisaran US$137,1 miliar. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2023 sebesar US$137,7 miliar.

“Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global,” tulis BI dalam siaran pers, Kamis (7/9/2023).

BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dibuktikan dengan setaranya cadev Indonesia dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Pelemahan ini memberikan dampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan semakin berkurang dengan menurunnya angka cadev.

Sedangkan dari eksternal, terdapat sentimen positif maupun negatif yang berasal dari China dan AS.

Dari China, sebagai negara dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia, tercatat angka ekspor dan impor mengalami kenaikan dibandingkan periode sebelumnya yakni masing-masing bernilai -8,8% (year on year/yoy) dan -7,3% yoy. Di tengah kontraksi yang terjadi di China, namun hal ini cukup memberikan kabar baik mengingat angka tersebut di atas dari konsensus pasar.

Sedangkan dari AS, data rilis ekonomi AS yakni ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.

Selain itu ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan.

Data ISM Service yang masih kencang bisa menjadi kabar buruk bagi pasar Indonesia. Dengan ekonomi AS yang masih kencang dan ekspektasi kebijakan The Fed yang hawkish maka investor asing bisa meninggalkan pasar keuangan Tanah Air sehingga menciptakan capital outflow, terutama di pasar mata uang dan SBN.

ISM Services yang menguat juga menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan.

Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Rupiah Menguat ke Rp 14.750/USD, Efek Investor “Buang” Dolar?

(rev/rev)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts