Duh! Mata Uang Asia Berpesta, Rupiah Malah Merana

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Padahal mayoritas mata uang utama Asia mampu menguat.

Read More

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah tercatat melemah 0,42% ke Rp 15.630/US$. Selain rupiah ada yen Jepang yang juga melemah 0,73% menjadi yang terburuk di Asia pekan ini, dan ringgit Malaysia stagnan.

Mata uang lainnya mampu menguat, baht Thailand bahkan melesat 2,4%.


Tirisnya pasokan dolar AS di dalam negeri plus tingginya permintaan menjadi penyebab rupiah melempem di awal tahun.

“Secara sentimen global sebetulnya tekanannya tidak terlalu besar beberapa hari ini, namun kebetulan di awal tahun ini di pasar valas domestik, ada permintaan valas yang meningkat dari BUMN tertentu, setelah sebelumnya pada akhir tahun kemarin ada pencairan dana kompensasi energi dari Pemerintah yang cukup besar,” kata Edi kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (6/1/2023).

Dia menegaskan hal tersebut menyebabkan rupiah agak melemah, dimana berbeda dibanding dengan pergerakan nilai tukar mata uang negara peers di Asia yang kemarin, Kamis (5/1/2023), umumnya mengalami penguatan.

Sementara itu Bank Indonesia (BI) kemarin melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2022 mencapai US$ 137,2 miliar, naik US$ 3,2 miliar dari posisi November.

Dengan demikian, cadangan devisa sudah naik 2 bulan beruntun setelah sebelumnya merosot pada periode Maret – Oktober 2022.

“Peningkatan posisi cadangan devisa pada Desember 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman pemerintah,” tulis Bank Indonesia (BI) dalam keterangan resminya, Jumat (6/1/2022).

Kenaikan cadangan devisa karena penarikan pinjaman tersebut menjadi penyebab rupiah tidak merespon dengan positif. Sebab, tanpa penarikan utang, tentunya ada risiko cadangan devisa kembali turun.

Isu kelangkaan dolar AS terus berhembus dalam beberapa bulan terakhir. Sebabnya, cadangan devisa yang terus menurun saat neraca perdagangan justru mencatat surplus dalam 31 bulan beruntun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari – November 2022 surplus neraca perdagangan tercatat lebih dari US$ 50 miliar.

Terlihat, ketika neraca perdagangan surplus, tetapi cadangan devisa malah menurun. Para eksportir menempatkan valuta asing mereka di luar negeri.

BI pun sudah “mengakui” hal tersebut, melihat langkah yang diambil belakangan ini guna bisa menahan Devisa Hasil Impor (DHE) lebih lama di dalam negeri.

Pada pengumuman kebijakan moneter Desember lalu, BI meluncurkan instrumen operasi moneter valuta asing (valas) baru. Instrumen tersebut diharapkan bisa memulangkan DHE yang banyak diparkir di Singapura.

Selain itu masalahnya arah aliran modal asing yang masih berputar-putar, membuat rupiah menguat.

Di pasar saham, sepanjang pekan ini terjadi outflow sekitar Rp 1,7 triliun. Sementara di pasar SBN sekunder dalam dua hari pertama perdagangan tercatat ada inflow sekitar Rp 2,5 triliun, melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko (DJPPR).

Fenomena tersebut sudah terjadi sejak akhir tahun lalu. Data pasar menunjukkan terjadi outflow hingga Rp 20,9 triliun di pasar saham, sementara di pasar SBN inflow sebesar Rp 25 triliun.

Pergerakan modal asing di pasar saham dan obligasi berlawan arah sejak awal tahun lalu. Ketika inflow terjadi di pasar saham, obligasi justru terjadi outflow yang masif. Kini, kebalikannya terjadi, rupiah pun menjadi kesulitan menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Terkapar Lawan Dolar AS, Rupiah Dekati Level Rp 15.600/USD

(pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts