Garuda-Citilink-Pelita Bakal Merger, Tiket Bisa Lebih Murah?

Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana akan menggabungkan maskapai grup Garuda yaitu Garuda Indonesia dan Citilink dengan Pelita Air. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, merger ketiga maskapai tersebut belum diketahui apakah akan berdampak dengan harga tiket.

Read More

Menurutnya, belum diketahui posisi Pelita Air apakah pangsa pasarnya akan berada ditengah-tengah Garuda Indonesia dan Citilink atau dibawah kedua maskapai tersebut. Pastinya, masing-masing maskapai akan menyasar level yang berbeda.

“Pasti kelasnya beda. Sekarang masih dihitung, kelasnya masih beda. Apakah kelasnya Garuda nanti level atas, Pelita di tengah, Citilink di LCC, kan belum tahu, dilihat nanti bagaimana,” ungkapnya di Kementerian BUMN Jakarta, dikutip Senin (28/8).

Arya memastikan, penggabungan ketiga maskapi tersebut akan menjadi satu manajemen. Harapannya pengelolaan maskapai peat merah akan menjadi efisien.

“Citilink di bawah Garuda, Pelita belum tahu, apakah nanti dia setara sama Citilink, atau di dalam Citilink sendiri, belum tahu. Itu untuk efisiensi saja, satu manajemen lah semua,” sebutnya.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir berencana akan meleburkan maskapai pelat merah Garuda grup dengan Pelita Air. Nantinya, program efisiensi klaster maskapai tersebut akan seperti Pelindo.

Menurutnya, langkah tersebut dilakukan untuk menurunkan biaya logistik di Indonesia sehingga semakin meringankan dunia bisnis. Saat ini, kata Erick, terdapat tiga BUMN yang bergerak dibidang penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air.

Penyelamatan yang dilakukan kepada Garuda Indonesia dianggap perlu dipertahankan mengingat Indonesia perlu tetap memiliki flag carrier. Saat Garuda Indonesia diperjuangkan, Erick menjelaskan, di waktu yang sama telah dipersiapkan Pelita Air.

“Dengan tujuan agar Indonesia tetap memiliki flag carrier nasional jika Garuda gagal diselamatkan,” ujar Erick di Tokyo, Jepang, melalui keterangan tertulis, dikutip Rabu (23/8).

Namun, Erick mengungkapkan lebih jauh, Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan itu diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia.

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Dimana terdapat 300 juta populasi yang rata-rata GDP (pendapatan per kapita) mencapai US$ 40 ribu.

“Sementara di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki GDP US$ 4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. Jadi perkara logistik kita belum sesuai,” jelasnya

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Jelang Konser Coldplay, Garuda Indonesia Tambah Pesawat Baru

(fsd/fsd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts