Inflasi AS & China Bakal Jadi Sentimen Utama Pekan Depan

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan di Indonesia di perdagangan pekan pertama tahun 2023 cenderung kurang menggembirakan, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan mata uang rupiah terpantau merana.

Read More

Melansir data Refinitiv, dalam sepekan, IHSG tercatat ambruk 2,4% ke Rp 6.684,558. IHSG pun kembali menyentuh level psikologis 6.600.

Dalam 5 hari perdagangan, IHSG sebenarnya mampu menguat tiga kali. Tetapi kemerosotan tajam pada perdagangan Rabu dan Kamis membuat IHSG menjadi bursa dengan kinerja terburuk di dunia dibandingkan dengan bursa utama lainnya.

Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,7 triliun di seluruh pasar sepanjang pekan ini.

Sedangkan rupiah juga bernasib sama yakni tak kuat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini. Rupiah melemah 0,42% secara point-to-point (ptp) ke posisi Rp 15.630/US$.

IHSG dan rupiah yang melemah terjadi setelah investor cenderung merespons negatif dari proyeksi ekonomi di tahun 2023 oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahun yang sulit karena mesin utama pertumbuhan global, seperti AS, Uni Eropa, dan China, di mana menurutnya semuanya mengalami aktivitas yang melemah.

“Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar yakni AS, Uni Eropa, dan China, semuanya melambat secara bersamaan,” kata Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).

Sementara itu, berdasarkan laporan dari Institute for Supply Management (ISM), aktivitas industri jasa AS pada November 2022 mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir.

Tetapi laporan lain menunjukkan ekonomi AS mulai membaik dengan banyaknya pembukaan lapangan pekerjaan pada Desember 2022. Hal ini mendorong tingkat pengangguran kembali ke level terendah pra-pandemi sebesar 3,5%.

Dengan masih kuatnya data tenaga kerja di AS, maka bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan sikap hawkish-nya.

Para pejabat The Fed berkomitmen untuk memerangi inflasi dan mengharapkan suku bunga yang lebih tinggi tetap berlaku sampai lebih banyak kemajuan dibuat, menurut risalah yang dirilis Rabu lalu dari pertemuan bulan Desember.

“Peserta umumnya mengamati bahwa sikap kebijakan yang membatasi perlu dipertahankan sampai data yang masuk memberikan keyakinan bahwa inflasi berada pada jalur penurunan yang berkelanjutan hingga 2 persen, yang kemungkinan akan memakan waktu lama,” berdasarkan ringkasan pertemuan.

“Mengingat tingkat inflasi yang terus-menerus dan tidak dapat diterima, beberapa peserta berkomentar bahwa pengalaman sejarah memperingatkan terhadap kebijakan moneter yang melonggarkan sebelum waktunya.”

Data tenaga kerja AS yang baru sejatinya menjadi sentimen positif. Tetapi saat ini, hal tersebut tidak berlaku karena semakin positif data tenaga kerja di AS, maka The Fed makin enggan untuk mengubah sikap hawkish-nya.

The Fed (dan bank sentral utama lainnya) justru “mengharapkan” pasar tenaga kerja melemah, bahkan jika perlu resesi segera terjadi.

Hal tersebut diperlukan untuk menurunkan inflasi yang sangat tinggi. Ketika pasar tenaga kerja kuat, maka daya beli masyarakat juga masih akan kuat, hal ini tentunya sulit menurunkan inflasi.

Alhasil, suku bunga bisa semakin tinggi dan ditahan lebih lama lagi sampai inflasi menurun. Jika itu terjadi, maka resesi yang akan dialami AS dan negara maju lainnya bisa jadi akan dalam dan panjang.

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts