penyebabsakit.com

Inflasi di Amerika Turun! Dunia Tak Jadi Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Selasa (13/12/2022) terpantau cenderung beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup menguat, sedangkan rupiah dan harga Surat Berharga Negara (SBN) terpantau melemah.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melesat 1,13% ke posisi 6.810,32. IHSG akhirnya kembali diperdagangkan di zona psikologis 6.800 kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin sekitar Rp 16 triliun dengan melibatkan 48 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 273 saham menguat, 255 saham melemah, dan 175 saham lainnya mendatar.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, investor asing masih melakukan penjualan bersih (net sell) nyaris Rp 2 triliun, tepatnya hingga Rp 1,97 triliun di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas menghijau. Kecuali indeks Shanghai Composite China, KLSE Malaysia, PSE Filipina, KOSPI Korea Selatan, dan TAIEX Taiwan.

Dari yang terkoreksi, indeks TAIEX menjadi yang paling besar koreksinya yakni melemah 0,61%. Sedangkan dari yang menguat, IHSG menjadi juaranya kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Selasa kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.655/US$, melemah 0,19% di pasar spot kemarin.

Sedangkan di kawasan Asia, sebagian besar terpantau menguat di hadapan sang greenback. Dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dan peso Filipina pun menemani rupiah yang tidak mampu melawan greenback kemarin.

Sementara dari yang menguat, ada yuan China, rupee India, yen Jepang, won Korea Selatan, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan. Yen pun memimpin penguatan kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas ditutup melemah dan mengalami kenaikan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.

Melansir data dari Refinitiv, hanya SBN tenor 30 tahun yang yield-nya terpantau menurun yakni sebesar 0,5 basis poin (bp) ke posisi 7,282%.

Sedangkan SBN tenor 20 tahun menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya pada perdagangan kemarin, yakni naik 6,4 bp ke 7,154%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara stagnan di level 6,948%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa kemarin.

Investor menanti rilis data inflasi AS periode November 2022, di mana data ini bisa menentukan kenaikan suku bunga The Fed (bank sentral AS).

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) diperkirakan turun menjadi 7,3% (year-on-year/yoy) pada November lalu, dari bulan sebelumnya 7,7% (yoy).

Inflasi inti yang tidak memperhitungkan sektor makanan dan energi juga turun menjadi 6,1% (yoy) dari sebelumnya 6,3% (yoy).

Jika inflasi melambat, tentunya pasar semakin yakin The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, dan rupiah bisa menguat.

Tetapi pasar juga menanti kepastian rilis tersebut, sebab beberapa data ekonomi AS sebelumnya masih kuat, dan memicu ekspektasi inflasi tinggi akan bertahan lama.

The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga 50 bp, atau mengurangi agresivitasnya dari sebelumnya 75 bp.

Seperti diketahui, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sebelumnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 bp empat kali beruntun hingga suku bunga saat ini menjadi 3,75% – 4%.

Bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali mengadakan rapat kebijakan moneter pekan ini.

Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bp menjadi 4,25% – 4,5% dengan probabilitas sebesar 74%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.

Meski demikian, pasar masih melihat jika inflasi kembali meninggi, ada risiko The Fed akan kembali menaikkan 75 bp.

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version