Inflasi di Amerika Turun, Tapi Bahaya Bagi RI Masih Besar!

Jakarta, CNBC Indonesia – Angka inflasi Amerika Serikat (AS) kembali melandai, tapi potensi resesi masih menghantui. Dampaknya pun bisa berimbas pada perekonomian Tanah Air.

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) semalam telah merilis angka inflasi yang diukur dari Indeks Harga Konsumen (IHK) per November 2022 yang berada di 7,1% secara tahunan (yoy). Melandai dari bulan sebelumnya di 7,7% yoy. Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.

Read More

Angka inflasi tersebut juga berada di bawah konsensus analis Reuters dan Trading Economics yang memprediksikan angka inflasi akan berada di 7,3% secara tahunan.

Rilis data tersebut kian memperkuat bahwa inflasi AS telah mencapai puncaknya pada Mei 2022 silam di 9,1%. Setelahnya, angka inflasi pun kian melandai seiring dengan keagresifan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya.

Bahkan di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 375 bps dan mengirim tingkat suku bunga The Fed berada di 3,75%-4%.

Di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008. Keagresifan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya tentu beralasan, guna membawa angka inflasi turun ke target Fed di 2%.

Namun, dalam rilis risalah rapat kebijakan moneter edisi November 2022, para pejabat The Fed sepakat untuk segera mengendurkan laju kenaikan suku bunga.

“Mayoritas partisipan menilai pelambatan laju kenaikan suku bunga akan tepat jika segera dilakukan,” tulis risalah tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (24/11/2022).

Para pejabat Fed akan memperhitungkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, kelambatan yang mempengaruhi kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi dan inflasi, serta perkembangan ekonomi dan keuangan.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Fed tampaknya akan mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga pada bulan ini. Ditambah, angka inflasi AS yang dirilis tadi malam kian meningkatkan peluang Fed akan mulai mengendurkan kebijakan moneternya.

Pada 13-14 Desember 2022, The Fed dijadwalkan akan menggelar pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal atau dikenal dengan FOMC untuk membahas kebijakan moneter terbarunya.

Mengacu pada CME Group, sebanyak 83% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 bps. Lebih rendah dari kenaikan sebelumnya.

Meski, Fed diprediksi akan memperlambat laju kenaikannya, tapi resesi diprediksikan masih dapat terjadi.

Salah satunya David Rubenstein yang merupakan miliarder asal Amerika dan mantan pejabat Gedung Putih. Menurutnya angka inflasi tersebut masih tinggi dan ia memprediksikan bahwa inflasi tidak akan turun secara berarti sebelum angka pengangguran naik secara signifikan.

“Sampai kita mendapatkan angka pengangguran menjadi sekitar 6%, kita tidak akan menurunkan inflasi secara berarti,” tuturnya dikutip Market Insiders.

Seperti diketahui, pasar tenaga kerja AS masih kuat meski Fed telah sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya. Pada November 2022, angka lowongan pekerjaan mencapai 263.000 pekerjaan baru, lebih tinggi dari ekspektasi pasar yakni 200.000. Sementara, angka pengangguran tetap berada di 3,7%.

Masih ketatnya pasar tenaga kerja AS akan membuat angka inflasi menjadi sulit diturunkan. Pasalnya, ketika angka lowongan pekerjaan lebih banyak daripada orang yang menganggur, maka perusahaan akan menaikkan upah untuk menarik potensial karyawan. Ketika upah tinggi, tentu akan membuat masyarakat akan terus konsumtif. Akibatnya, angka inflasi akan sulit melandai.

Kepala Eksekutif JPMorgan Jamie Dimon mengatakan bahwa inflasi yang tinggi akan menggerogoti daya konsumsi masyarakat.

Menurutnya, konsumen AS telah berhemat lebih dari US$ 1,5 triliun berkat program stimulus pemerintah saat pandemi dan kemungkinan akan habis pada 2023 karena angka inflasi yang tinggi menggerus tabungannya.


Dimon memprediksikan bahwa Fed akan mulai menghentikan pengetatan kebijakan moneternya pada 3-6 bulan setelah suku bunga acuan berada di 5%. Tentunya, ketika suku bunga dinaikkan terlalu tinggi, akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

“Hal-hal itu mungkin sangat menggagalkan ekonomi dan menyebabkan resesi ringan hingga berat yang dikhawatirkan orang,” tuturnya.

Jika AS Resesi, apa dampaknya bagi perekonomian Tanah Air?>>>>

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts