Ini Penyebab IHSG Mager Meski Asing Borong Saham Rp 1 T

Jakarta, CNBC Indonesia – Dewi Fortuna masih belum berpihak pada pasar saham Tanah Air di pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,41% sepekan terakhir.

Read More

Dalam lima hari perdagangan terakhir, IHSG hanya menguat 2x dan sisanya mengalami koreksi. Indeks masih terjebak dalam pola sideways di rentang 7.000-7.100.

Pada perdagangan kemarin, Jumat (26/11/2022), IHSG ditutup drop 0,39% di 7.053,15. Asing pun kembali melepas kepemilikan sahamnya di dalam negeri.

Asing net sell Rp 233 miliar kemarin. Namun dalam seminggu terakhir asing masih terpantau net buy hampir Rp 1 triliun.

Sentimen kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih kecil tidak mampu menjadi motor penggerak IHSG ke atas 7.100.

Meski IHSG sideways sejak akhir Oktober 2022, tetapi kinerja pasar saham domestik masih tetap unggul dibandingkan dengan bursa saham negara lain. Sepanjang tahun ini, IHSG masih memberikan return sebesar 7,17% dan menjadi peringkat 1 di Asia Pasifik serta peringkat 4 di dunia.

Sebenarnya selain risiko pengetatan kebijakan moneter AS, dunia juga tengah menghadapi ancaman lain yaitu reflasi. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, adanya 5 hal yang mencirikan gejolak perekonomian tahun ini maupun tahun depan. Gejolak ini akan membuat kondisi ekonomi global masih dalam kondisi pemburukan.

Ciri pertama kata dia adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan bahkan ada risiko sejumlah negara resesi. Ekonomi dunia diperkirakannya tahun tahun ini tumbuh 3 persen dan akan turun menjadi 2,6% pada 2023

“Bahkan juga ada risiko-risiko menjadi 2 persen terutama di AS dan di Eropa. Resesi di AS dan di Eropa. Resesi di AS probabilitasnya mendekati 60% apalagi di Eropa, bahkan kondisi winter tahun ini belum yang terburuk, tahun depan yang terburuk karena ini berkaitan dengan geopolitik, fragmentasi politik ekonomi dan investasi, slowing growth pertumbuhan yang melambat,” ucap Perry.

Hal yang kedua adalah inflasi yang tinggi. Tahun ini inflasi dunia menurutnya akan menyentuh 9,2 persen. Di Amerika Serikat sudah mendekati 8,8 persen, Eropa 10 persen dan di Inggris sudah mendekati 11%.

Yang ketiga adalah hal yang disebutnya higher interest for longer. Artinya akan terjadi kondisi suku bunga yang tinggi dan akan berlangsung lama. Di AS kenaikan Fed Fund Rate sudah naik 75 bps bulan ini menjadi 4%.

Adapun kondisi keempat adalah terus menguatnya mata uang dolar atau strong dolar. Beberapa hari terakhir indeks dolar terhadap mata uang utama atau dxy kata dia pernah mencapai 114. Secara tahun berjalan itu telah menguat hampir 25%.

Kondisi kelima adalah terjadinya fenomena cash is the king. Ini karena risiko investasi di portfolio sangat tinggi sehingga persepsi di investor saat ini adalah lebih baik menarik dana investasinya dari negara emerging market ke negara maju.

Dengan kondisi yang kurang kondusif, wajar bila pergerakan harga aset keuangan masih tertahan. Investor cenderung bermain aman ketimbang mengambil risiko.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ogah Mengekor Bursa Asia, IHSG Justru Berupaya ke 7.000

(trp/dhf)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts