Investasi Primadona, Harga Emas dari Tahun ke Tahun Sejak 1970


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Emas merupakan aset berharga yang kebal terhadap gempuran gejolak perekonomian global. Hal itu tecermin dari harga yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Meskipun di beberapa tahun tertentu sempat anjlok, seperti di krisis tahun 2008 misalnya, namun investasi emas tetap menjadi primadona dalam dunia investasi.

Mengutip berbagai sumber, popularitas emas dimulai sejak tahun 1970 silam. Pada tahun tersebut banyak orang mulai berinvestasi emas ketika krisis minyak dan kebijakan moneter di beberapa negara memicu inflasi. Hal itu terus berlanjut hingga tahun 1971 saat Richard Nixon, presiden Amerika Serikat menetapkan kebijakan tentang standar emas terhadap dolar.

Padahal, sebelum kebijakan tersebut dibuat, mata uang negara-negara adidaya pasca perang wajib menautkan mata uang mereka ke dolar AS.

Harga emas di tahun 1970an adalah US$ 35 per troy ons. Namun, pertukaran dolar AS dengan emas ternyata menimbulkan polemik tersendiri. Saat dolar Amerika Serikat mengkonversikan nilai tukarnya dengan emas, maka akan mengalami ‘kehilangan’ sejumlah emas per tiap dolarnya.

Artinya, semakin banyak Amerika mengimpor barang, sama saja cadangan emasnya akan menurun. Sehingga Presiden Nixon mengeluarkan aturan menghilangkan standar emas di mata uangnya. Kebijakan ini membuat bank sentral Amerika Serikat bebas meningkatkan peredaran uang, tanpa batasan.

Harga emas meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai puncaknya tahun 1980-an dimana harga emas mencapai US$ 850 per ons. Lonjakan logam mulia kuning tersebut disebabkan juga atas reaksi investor atas inflasi lantaran adanya kenaikan harga minyak bumi.

Kenaikan harga minyak bumi yang menyebabkan inflasi tersebut terkait dengan campur tangan Uni Soviet di Afganistan. Hal ini juga membuktikan bahwa emas bisa berperan sebagai lindung nilai jika terjadi inflasi dan gejolak geopolitik.

Ada era tahun 1990-an, emas mengalami penurunan secara global. Bahkan, harga emas anjlok selama dua dekade sampai mencapai titik terendah di harga US$ 254. Penyebabnya, karena persediaan emas yang melonjak karena biaya penambangan yang turun dan munculnya banyak teknologi baru di bidang pertambangan.

Suplai emas yang meningkat juga ditambah oleh rendahnya inflasi, kehati-hatian kebijakan moneter, serta stabilitas geopolitik. Kondisi tersebut membuat sebagian besar masyarakat Eropa mencairkan tabungan emas mereka menjadi uang tunai. Mereka memutuskan untuk mengalihkan ke instrumen aset-aset berisiko seperti saham, properti, dan sebagainya.

Namun, pada tahun 2008 hingga 2011 saat krisis keuangan global melanda membuat harga emas melonjak menjadi US$ 1.800 per ons di 2008. Bahkan harga emas tahun 2000 sempat menyentuh angka US$2.074 per ons pada bulan Agustus.

Lonjakan harga logam mulia ini disebabkan oleh bekunya pasar obligasi karena krisis keuangan. Emas menjadi jalan keluar untuk menyelamatkan aset-aset para investor.

Berlanjut hingga ke tahun 2012 – 2020, kenaikan harga instrumen ekuitas mulai terjadi sebagai efek pemulihan krisis keuangan global. Investor makin gencar menempatkan dana mereka di sektor saham, dan menjauh di aset aman seperti emas. Sehingga membuat harga emas terjun hingga 40%. Harga emas yang tahun sebelumnya mencapai US$ 1.800 per ons, anjlok menjadi US$ 1.050.

Namun, pada tahun seterusnya, harga emas relatif stabil, yaitu berada di angka US$ 1.100 sampai US$ 1.400 per ons.

Pada tahun 2021 saat badai pandemi 2021, harga emas melonjak menjadi US$1.985 per ons, dari US$ 1.447 per onsnya. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi yang membuat investor memilih aset aman seperti emas. Investor juga khawatir jika Amerika akan mencetak uang secara lebih masif untuk antisipasi krisis karena pandemi.

Pada tahun 2023 kebelakang ini, investor kembali mengabaikan rasa pesimis terhadap kondisi ekonomi, yang membuat harga emas kembali stabil.

Pada perdagangan Rabu (3/1/2024) harga emas di pasar spot ditutup melemah 0,91% atau hampir 1% di posisi US$ 2040,19 per troy ons. Pelemahan ini memperpanjang derita emas yang melemah sejak 28 Desember 2023. Dalam empat hari perdagangan, harga emas ambruk 1,8%.

Sementara, hingga pukul 06:19 WIB Kamis (4/1/2024), harga emas di pasar spot bergerak lebih tinggi atau naik 0,08% di posisi US$ 2042,58 per troy ons.

Emas melemah pada perdagangan Rabu setelah risalah pertemuan kebijakan terbaru The Fed AS menandai ketidakpastian mengenai waktu potensi penurunan suku bunga.

The Fed merilis risalah Federal Open Market Committee (FOMC) pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia. Dalam risalah tersebut, para pejabat The Fed tampak semakin yakin bahwa inflasi sudah terkendali, dengan berkurangnya “risiko kenaikan” dan meningkatnya kekhawatiran bahwa kebijakan moneter yang “terlalu ketat” dapat merusak perekonomian, menurut risalah tersebut.

Namun, The Fed belum menjelaskan kapan pemangkasan suku bunga akan dilakukan.

“‘Bertahanlah” adalah pesan yang datang dari risalah rapat The Fed bulan Desember, meskipun kita telah melihat siklus tertinggi, penurunan suku bunga akan membutuhkan lebih banyak waktu, terutama dengan kondisi keuangan yang membaik dan ketidakpastian yang tinggi,” ujar Tai Wong, analis yang berbasis di New York, pedagang logam independen, dilansir dari Reuters.

Risalah tersebut mengatakan para peserta mencatat “tingkat ketidakpastian yang luar biasa tinggi” mengenai prospek penurunan suku bunga, dan kenaikan suku bunga lebih lanjut masih mungkin terjadi jika inflasi memburuk.

Investor saat ini melihat kemungkinan sebesar 70% bahwa The Fed akan menurunkan suku bunganya mulai dari pertemuannya pada Maret, sementara para ekonom melihat bahwa The Fed akan menundanya hingga mendekati pertengahan tahun.

Indeks dolar menguat ke level 102,48 pada perdagangan Rabu (3/1/2024), dari 102,2 pada perdagangan sebelumnya. Kondisi ini membuat emas lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Investor kini menantikan serangkaian data ekonomi AS pada minggu ini, termasuk laporan non-farm payrolls pada hari Jumat.

Pasar juga memantau perkembangan di Timur Tengah setelah konflik Israel-Hamas mencapai Lebanon dengan terbunuhnya wakil pemimpin Hamas di Beirut.

Harga emas sangat sensitif terhadap pergerakan suku bunga AS. Kenaikan suku bunga AS akan membuat dolar AS dan imbal hasil US Treasury menguat. Kondisi ini tak menguntungkan emas karena dolar yang menguat membuat emas sulit dibeli sehingga permintaan turun. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan imbal hasil US Treasury membuat emas kurang menarik.

Namun, suku bunga yang lebih rendah akan membuat dolar AS dan imbal hasil US Treasury melemah, sehingga dapat menurunkan opportunity cost memegang emas. Sehingga emas menjadi lebih menarik untuk dikoleksi.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


3 Investasi Ini Jadi Pilihan Warren Buffet, Simak Alasannya

(fsd/fsd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts