Investor Hati-hati! Libur Panjang tapi Banyak Data Penting

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Tanah Air pada pekan ini mencatatkan kinerja mengecewakan pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja mengecewakan, sementara rupiah juga masih tak berdaya melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Read More

Dari sisi IHSG, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (23/6/23) turun 0,19%ke level 6.393,73.

Penurunan IHSG pada perdagangan Jumat (23/6/2023) melanjutkan pelemahan yang terjadi pada hari sebelumnya. Dengan demikian, dalam lima hari perdagangan, koreksi IHSG semakin bertambah yakni 1,57%. Tak hanya itu, secara year to date (ytd) indeks membukukan koreksi sebesar 3,08%.



Sementara, pasar keuangan lain yakni rupiah terpantau melemah 0,4%, sementara secara bulanan mata uang garuda masih melemah 0,03% ke Rp 14.990/US$.

Melansir data Refinitiv,rupiah ditutup melemah 0,37% menjadi Rp 14.990/US$1 pada perdagangan Jumat (23/6/2023).

Pelemahan ini membalikkan harapan pelaku pasar, mengingat tren penguatan pada hari sebelumnya. Pada perdagangan hari sebelumnya, Kamis (22/6/2023) rupiah menguat 0,03% menjadi Rp 14.935,00/US$.

Kebijakan Bank Indonesia menahan suku bunga, serta stance kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang masih hawkish.



Lantas, mampukah pasar keuangan bangkit di tengah kondisi ekonomi masih diselimuti ketidakpastian? Terlebih pekan depan, perdagangan hanya 2 hari karena pemerintah mentapkan cuti bersama Hari Raya Idul Adha untuk tanggal 28,29,30 Juni mendatang. Dengan libur panjang ini, pasar biasanya tak begitu agresif.

Saat ini investor terus memasang mode wait and see data ekonomi penting terutama dari AS, China, Eropa. Ada banyak data yang bakal rilis pekan depan yang bisa menjadi ‘sinyal’ ekonomi ke depan serta kemana arah suku bunga bakal melaju.

Perlu diingat, inflasi dan suku bunga yang tinggi masih menjadi momok mengerikan bagi para investor.

Data Penting Dari Amerika Serikat (AS)

Pekan depan, kita akan disuguhkan data pembacaan terakhir pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) untuk Q1-2023 pada Kamis (29/6/2023). Sebagaimana diketahui, pada rilis data sebelumnya ekonomi AS pada kuartal pertama tahun 2023 tumbuh melambat, jauh dari ekspektasi.

ekonomi AS kuartal I-2023 hanya tumbuh 1,1% secara tahunan. Melambat dari periode sebelumnya yang tumbuh 2,6%. Dan tidak sesuai harapan, di mana ekspektasi sebelumnya, ekonomi AS bisa tumbuh 2%. Sementara secara QoQ ekonomi AS hanya tumbuh 0,1% untuk kuartal I-2023.



Pertumbuhan ini adalah laju paling lemah bagi perekonomian AS sejak kuartal-II tahun 2022. Akibat kenaikan suku bunga terus merugikan pasar perumahan dan bisnis mengurangi pasokan.

Data pertumbuhan ekonomi ini tentu menjadi penting sebab menggambarkan secara nyata kondisi perekonomian Negeri Paman Sam tersebut.

Kedua, pekan depan bakal ada pidato Powell yakni ketua bank sentral paling ‘powerfull’ di dunia pada Rabu (28/6/2023) pukul 08:30 waktu Indonesia. Ini tentu penting diperhatikan oleh para investor ke mana arah suku bunga berlabuh untuk pertemuan mendatang.

Ketua The Fed, Powell, juga telah menegaskan kemungkinan adanya peningkatan suku bunga untuk menurunkan inflasi lebih lanjut. Meskipun pada pertemuan FOMC pekan lalu suku bunga tidak dinaikkan, namun kemungkinan kenaikan suku bunga masih besar menurut Powell.

Dalam pengumuman kebijakan moneter tersebut, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.

Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% – 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis poin.



Langkah tersebut diambil guna membawa inflasi kembali ke target 2%. Masalah itu sepertinya tidak akan mudah, sehingga The Fed perlu mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu yang cukup lama.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Mei tercatat sebesar 4% year-on-year (yoy), sudah turun lebih dari setengah ketika mencapai 9,1% pada Juni 2022 lalu, level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.

Sementara itu inflasi inti, yang tidak memperhitungkan sektor energi dan makanan tumbuh 5,3% (yoy). Inflasi ini yang menjadi perhatian, sebab lebih persisten alias sulit untuk naik turun.

Belum lagi melihat inflasi berdasarkan personalconsumption expenditure(PCE) justru mengalami kenaikan menjadi 4,4% (yoy) pada April lalu dari bulan sebelumnya. Kemudian, inflasi PCE inti naik menjadi 4,7% dari sebelumnya 4,6%.

Dari AS pekan depan juga ada beberapa rilis data penting seperti klaim pengangguran, data penjualan rumah. Situasi di Amerika Serikat (AS) memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia.

Dari Negeri Tirai Bambu, akhir pekan depan bakal ada rilis data PMI Manufaktur. Ini penting di perhatikan pasalnya rilis data sebelumnya cukup mengecewakan.

Bulan lalu, Biro Statistik Nasional (NBS) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.



Angka ini benar-benar diluar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.

Sektor manufaktur yang berkontraksi juga terlihat dari impor China dilaporkan anjlok 4,5% pada Mei. Bahkan, anjloknya impor sudah terjadi dalam tiga bulan beruntun impor.



Selain data yang mengecewakan,sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.

Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.

Zona Eropa

Risiko krisis semakin menjadi-jadi di negara Eropa. Setelah invasi Rusia-Ukraina, negara bagian ini memang di landa krisis pasokan energi, biaya hidup, tingginya inflasi, krisis pasokan makanan, hingga serangan siber pada infrastruktur penting. Hingga kini, suku bunga tinggi masih menjadi ‘momok’ mengerikan.

Pekan depan bakal banyak data penting yang menyelimuti Zona Eropa diantaranya data inflasi, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) zona Eropa, tingkat pengangguran Zona Eropa, serta data penting dari negara bagiannya.

Sebagaimana diketahui, pekan lalu bank Sentral Eropa (ECB) kembali menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam 22 tahun pada Kamis (15/6/2023) dan tetap membuka peluang untuk kenaikan lebih lanjut demi menjinakkan inflasi.

ECB meningkatkan suku bunga utamanya untuk kedelapan kalinya berturut-turut, sebesar 25 basis poin menjadi 3,5%, level tertinggi sejak 2001.

Bank sentral untuk 20 negara yang menggunakan mata uang euro itu juga mengatakan pihaknya memperkirakan inflasi akan tetap di atas target 2% hingga 2025 dan sekali lagi mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih banyak dalam beberapa bulan mendatang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


Artikel Selanjutnya


Banyak Data Penting! Waspada, Salah Sedikit IHSG Bisa Ambruk

(aum/aum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts