Iran-Israel Reda Kok Rupiah Tembus Rp 16.230/US$? Ini Kata Ekonom


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih terus bergerak melemah, bahkan masih betah bertengger di level Rp 16.200. Pagi ini, 10:20 WIB, rupiah masih berada di level Rp 16.240 per dolar AS. Padahal sentimen dan tensi Iran-Isreal sudah mereda.

Kalangan ekonom menilai, pemerintah dan otoritas moneter masih perlu memperdalam pasar keuangan untuk menjaga ketahanan rupiah di tengah gejolak nilai tukar global.

Head of Treasury Bank Commonwealth Yuriadi Sulastomo mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini pun bukan disebabkan permasalahan ekonomi domestik, melainkan lebih disebabkan sentimen buruk pelaku pasar keuangan terhadap kondisi global yang penuh ketidakpastian, mulai dari konflik di Timur Tengah hingga risiko kenaikan suku bunga AS.

“Karena sebenarnya pelemahan rupiah ini kan juga terjadi di semua currency, kayak yen Jepang itu 34 tahun level terendah, dan itu terjadi di semua negara. Beda dengan dulu-dulu yang cuma kita doang, rupiah aja (melemah),” kata Yuri dalam program Central Banking CNBC Indonesia, Jakarta, Selasa (23/4/2024).

Oleh sebab itu, Yuri mengatakan, permasalahan itu tidak bisa diselesaikan BI hanya dengan melalui menaikkan suku bunga acuan, karena berbagai indikator ekonomi Indonesia menunjukkan fakta sebaliknya, mulai dari inflasi yang rendah hingga pertumbuhan ekonomi yang masih belum tinggi.

Kepala Ekonom dan Riset UOB Enrico Tanuwodjaja mengatakan, yang perlu dilakukan BI saat ini adalah memperdalam pasar keuangan domestik. Menurutnya, instrumen pasar uang yang ada saat ini belum mendukung stabilitas rupiah, seperti terbatasnya tenor pada instrumen Sekuritas Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Terbatasnya pasar keuangan Indonesia kata Enrico tercermin dari selisih imbal hasil surat berharga Indonesia tenor 10 tahun dengan Amerika Serikat yang makin menyempit. US Treasury saat ini imbal hasilnya sudah di kisaran 5% sedangkan SBN tenor 10 tahun sudah di level 7%. Jadi selisih atau spread imbal hasilnya hanya di rentang 200 basis poin.

“Bayangin kalau itu terjadi spread 200 bps itu typically enggak pernah terjadi, Indonesia itu rata-rata (spreadnya) 550 bps. Jadi artinya kalau pun dinaikkan itu untuk meningkatkan yield jangka panjang menarik atraksi itu bagus,” ucapnya.

“Tapi pasar SUN (surat utang negara) kita itu lebih banyak terkonsentrasi di rupiah jadi pada saat market gonjang ganjing orang pada saat keluar harus langsung hit and exit. Jadi tidak ada intermediary market untuk dia parkir sementara di dolar instrumen, euro, yen, atau lain sebagainya, ini adalah salah satu contoh,” tegas Enrico.

Karena itu, ia menganggap instrumen SUVBI sudah bagus, valas, tapi valasnya diperbanyak atau tenornya dibuat lebih variatif dan itu akan lebih menarik lagi. Repo market menurutnya juga bisa diperdalam karena sekarang pemain asing melalui foreign direct investment atau FDI juga lebih banyak.

“Jadi sudah waktunya pendalaman ini bukan hanya mother hood statement, tapi harus diimplementasikan tuh. Itu kan sudah banyak banker-banker kita sudah paham menurut saya, jadi sekarang tugasnya regulator, pemain, pelaku pasar, pengawas dan sektor usaha datang bersama kebutuhannya di mana. Itulah titik temunya, diperdalam kebutuhan hedging, kebutuhan repo, kebutuhan interest swap, itu menurut saya masih terlalu dangkal, kita perlu tembus lebih dalan lagi, menurut saya ini kalau dilakukan kita punya rupiah lebih stabil,” ungkap Enrico.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual juga telah mengatakan bahwa untuk menarik derasnya valas dalam bentuk investasi portofolio, pasar keuangan Indonesia sudah memiliki banyak instrumen, mulai dari saham, obligasi, hingga instrumen baru yang disediakan Bank Indonesia seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI). Tapi, masalahnya tenor yang ditawarkan masih terlalu singkat.

“Risikonya kalau portofolio enggak sticky, sewaktu-waktu bisa keluar, makanya perlu diperkenalkan juga instrumen-instrumen yang lebih panjang ya,” ucap David.

Oleh sebab itu, David menekankan, selain pentingnya memperkuat pasokan valas atau dolar di dalam negeri melalui penguatan instrumen kepatuhan DHE, pengenalan instrumen investasi portofolio dengan tenor panjang juga perlu dilakukan BI, seperti tenor SBN yang telah mampu mencapai puluhan tahun.

“SBN kita yang 30 tahun mungkin yang panjang-panjang itu perlu juga di-introduce, untuk instrumen lain juga perlu. Jadi, perlu instrumen menengah panjang juga kelihatannya karena kalau di Meksiko misalnya dan beberapa negara Amerika Latin itu ada yang 100 tahun SBN tenornya, ada 50 tahun, 100 tahun ada, di kita belum,” kata David.

Dilansir dari Refinitiv pada pukul 10:15 WIB hari ini (23/4/2024), rupiah menurun 0,07% ke level Rp16.242/US$. Posisi rupiah saat ini lebih rendah dibandingkan pada saat pembukaan yang berada di angka Rp16.230/US$. Sementara indeks dolar AS (DXY) tercatat mengalami kenaikan tipis 0,03% ke angka 106,11.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Naik 3 Hari Beruntun, Rupiah Sentuh Level Tertinggi 2 Bulan

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts