Jangan Lengah! Bursa Saham Pekan Depan Bisa Tambah Liar

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan pekan ini cenderung bergerak bingung dan tidak menunjukan kinerja yang impresif. Tidak bisa dipungkiri, bahwa tekanan ekonomi global masih saja menjadi ‘momok’ mengerikan bagi dunia tak terkecuali Indonesia.

Read More

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak sangat labil pekan ini. Sentimen eksternal dan dari dalam negeri cenderung tak sejalan membuat geraknya tak karuan. Kendati demikian, IHSG masih menguat tipis 0,22% sepekan.

Cenderung labilnya pergerakan IHSG pada pekan ini disebabkan oleh dua sentimen yang saling bertolak belakang.

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari segala sisi. Di antaranya adalah inflasi yang melandai, surplus neraca perdagangan yang masih besar yakni US$ 3,87 miliar, serta keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga.

Keputusan BI menahan suku bunga pada Kamis (16/2/2023) sudah sesuai ekspektasi pasar. Ini diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang kencang maka pendapatan perusahaan pun bisa terdongkrak.

Di sisi lain, tak bisa dimungkiri IHSG ambruk karena mendapat pengaruh dari Wall Street karena meningkatnya kekhawatiran pasar mengenai kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menjadi penyebabnya.

Sementara itu, rupiah pekan ini melemah seiring dengan melemahnya mata uang utama di Asia pekan ini. Dengan ini, sepekan saja rupiah sudah melemah 0,46% dan tercatat hanya membukukan 3 kali penguatan yakni pada perdagangan Selasa da Kamis. Ini tentu saja karena ulah The Fed.

Lantas, bagaimana kondisi pasar keuangan melanjutkan kinerja cemerlangnya pekan depan? Setidaknya, ada beberapa hal yang penting dicermati oleh para investor.

Di awal pekan kita bakal disuguhkan dengan sentimen kebijakan bank sentral China (PbOC) terkait suku bunga yakni loan prime rate 1 tahun dan 5 tahun. Kebijakan ini penting dicermati sebab menjadi sinyal bagaimana pemerintah China menjaga dan mendukung pemulihan ekonomi negaranya pasca dihantam Covid-19.

Selain itu, ada pula suguhan data dari Australia terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) negaranya. Data ini akan memberikan informasi situasi ekonomi negara tersebut di tengah ketidakpastian global saat ini. Jika angka lebih tingi daripada ekspektasi maka dianggap positif .

Bukan Cuma IKK, di hari berikutnya Australia juga akan merilis data PMI hingga risalah rapat hasil kebijakan moneter Australia. Risalah rapat RBA akan diamati dengan cermat untuk mengetahui perincian terkait keputusan terbaru suku bunga ke depannya.

Di sisi lain, kabar dari Amerika Serikat (AS) tentunya tak kalah penting karena ini yang akan menggerakan Wall Street dan bakal mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Tanah Air.

Pekan depan AS bakal menyuguhkan data penting mulai dari PMI, data penjualan rumah, hingga risalah FOMC untuk menentukan arah kebijakan The Fed. Perlu diketahui, Ketua Fed Jerome Powell menegaskan kembali bahwa proses disinflasi telah dimulai, khususnya di sektor barang, dan bahwa Fed memiliki alat untuk menurunkan inflasi ke target 2%.

Inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncaknya, dan sedang memulai periode penurunan.



Ketika berbicara di Economic Club of Washington. Pada saat yang sama, ketika ditanya tentang laporan pekerjaan Januari yang kuat, komentar Powell tidak menunjukkan bahwa itu akan mengubah pendekatan bank sentral terhadap kenaikan suku bunga di masa depan.



Ketika The Fed menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi, maka pasar finansial akan bergejolak lagi. Aliran modal bisa kembali keluar dari negara emerging market seperti Indonesia, dolar AS menjadi perkasa lagi dan nilai tukar mata uang lainnya berisiko kembali terpuruk.

Guna menstabilkan nilai tukar, bank sentral negara lain tentunya akan ikut mengerek suku bunga, alhasil perekonomian akan kembali merosot. Inilah yang di khawatirkan dunia saat ini. Jika pada akhirnya The Fed menahan suku bunga tinggi dalam waktu yang lebih lama lagi, runyam sudah urusannya.

Sementara dari dalam negeri, agresivitas Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan moneter akhirnya terhenti. BI menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada level 5,75%. Suku bunga Deposit Facility tetap pada level 5,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,50%.


Keputusan rapat dewan gubernur BI sesuai dengan ekspektasi pasar, berdasarkan survei CNBC Indonesia.

Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 10 lembaga/institusi memperkirakan bank sentral menahan suku bunga di level 5,75%. Dua institusi memperkirakan BI mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00%.

Sebagai catatan, BI mulai menaikkan suku bunga acuan sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023. Secara total, kubu MH Thamrin sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 225 basis points (bps) menjadi 5.75%.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Baca Baik-baik! Angin Segar Ini Bakal Bikin Kamu Cuan

(aum/aum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts