Kabar Gembira! Eropa Diramal Tak Bakal Alami Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia – Memasuki 2023 dunia dikhawatirkan akan mengalami resesi. Kemerosotan ekonomi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun menghantui. Amerika Serikat (AS) dan Eropa diprediksi akan mengalami kontraksi ekonomi setidaknya dua kuartal beruntun.

Read More

Namun, kini ada kabar baik. Survei terbaru menunjukkan Eropa bisa menghindari resesi di tahun ini. Semua berkat penurunan harga energi serta pembukaan kembali perekonomian China.

Survei yang dilakukan oleh Consensus Economics menunjukkan Eropa diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan 0,1% pada tahun ini.

Anna Titareva, ekonom di USB sebagaimana dikutip Financial Times Minggu (22/1/2022) mengatakan saat ini risiko resesi Eropa kurang dari 30%, jauh lebih rendah dari proyeksi yang diberikan tahun lalu hingga 90%.

“Meredanya disrupsi supply, pasar tenaga kerja yang kuat dan simpanan yang lebih banyak membuat ekonomi zona euro resilien. Eropa juga sukses memenuhu pasokan gasnya dalam beberapa bulan terakhir,” kata Titavera.

Harga gas juga sudah menurun tajam, kembali ke bawah level sebelum perang Rusia-Ukraina pecah. Hal ini tentunya akan meredakan tekanan inflasi di Benua Biru.

Gubernur bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dalam World Economic Forum (WEF) di Davos pekan lalu juga mengatakan wajah perekonomian Eropa saat ini jauh lebih bagus, tidak seperti yang ditakutkan sebelumnya.

Pada kesempatan yang sama, deputi direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath mengatakan keputusan China untuk melonggarkan kebijakan zero Covid-19 menjadi salah satu alasan IMF menjadi lebih optimistis.

China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia, ketika perekonomiannya pulih, maka perkonomian dunia akan ikut terkerek.

Selain itu, kabar baik juga bisa datang dari Amerika Serikat (AS).

Inflasi yang menurun di Amerika Serikat membuat pasar melihat bank sentral AS (The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Desember 2022 dilaporkan tumbuh 6,5% year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari sebelumnya 7,1%. CPI tersebut juga menjadi yang terendah sejak Oktober 2021.

CPI inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan juga turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 6%, dan berada di level terendah sejak Desember 2021.

Sebelumnya, Institute for Supply Management (ISM) Jumat lalu melaporkan sektor jasa Amerika Serikat mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua setengah tahun terakhir.

ISM melaporkan purchasing managers’ index (PMI) jasa turun menjadi 49,6 jauh dari bulan sebelumnya 56,5. Angka di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.

Kontraksi tersebut menjadi tanda gelapnya perekonomian AS pada 2023, resesi sudah membayangi. Untuk diketahui sektor jasa merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) AS berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya tidak pernah kurang dari 70%.

Pasar kini melihat The Fed akan kembali menaikkan suku bunga 25 basis poin pada Februari nanti, dan sekali lagi dengan besaran yang sama sebulan berselang. Sebabnya, inflasi yang terus menurun.

Ekspektasi tersebut lebih rendah dari proyeksi The Fed sebesar 75 basis poin, hingga menjadi 5% – 5,75%.

Salah satu pejabat elit The Fed, Christopher Waller juga sudah menyatakan dukungannya terhadap kenaikan 25 basis poin pada pertemuan berikutnya pekan depan.

Kenaikan yang lebih rendah dari proyeksi sebelumnya tentunya menjadi kabar baik bari perekonomian Amerika Serikat begitu juga dengan dunia. Sebab, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Titik cerah ekonomi dunia pun perlahan-lahan mulai muncul pada awal 2023.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ngegas! Bank Sentral Eropa Naikkan Suku Bunga Acuan 75 Bps

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts