Nih! Analisa 5 Ekonom Soal Kata Jokowi RI Kekeringan Uang

Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Kalangan ekonom merespons pernyataan Presiden Joko Widodo terkait keringnya likuditas perekonomian atau uang yang beredar saat ini di sektor riil dan masyarakat.

Jokowi menyampaikan hal itu di hadapan Gubernur Bank Indonesia dan para petinggi perbankan, dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023 yang digelar di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu lalu.

Ia menduga penyebabnya adalah uang-uang di perbankan tidak digunakan untuk pembiayaan atau kredit, melainkan untuk membeli surat berharga yang diterbitkan BI dan Kementerian Keuangan.

Kalangan ekonom di Indonesia pun telah mengungkapkan data-data dan analisis merespons pernyataan Jokowi itu. Berikut ini penjelasan yang disampaikan 5 ekonom RI:

1. Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya Indrastomo

Berbeda dengan Jokowi, Banjaran menilai kondisi likuiditas di perekonomian domestik relatif masih cukup atau ample. Ia mengungkapkan, data uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2023 pun masih sebesar Rp8.505 triliun, meningkat 0,8% dari posisi M2 September 2023 yang sebesar Rp8.440 triliun.

“Namun jika dilihat year-on-year, maka M2 tumbuh sebesar 3,4%,” kata Banjaran kepada CNBC Indonesia.

Di pasar fixed income sendiri, ia melanjutkan proporsi kepemilikan bank atas Surat Berharga Negara (SBN) justru berkurang, tak seperti dugaan Jokowi. Kata Banjaran, porsi kepilikan bank terhadap SBN hanya 29,73% pada September dan menjadi 29,07% pada Oktober 2023.

Dari data itu, ia menganggap gairah atau appetite perbankan untuk menyalurkan kredit maup7n pembiayaan masih tinggi. Kredit perbankan nasional tumbuh 9,06% (YoY) pada Agustus, lebih tinggi dari pertumbuhan kredit pada Juli yang sebesar 8,54%.

“Adapun instrumen investasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia seperti SRBI, SVBI, maupun SUVBI memang mengindikasikan minat yang tinggi dari pasar. Namun, objektif dari penerbitan instrumen tersebut lebih kepada pengendalian likuiditas untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah,” tegasnya.

2. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede

Josua mengungkapkan beberapa sebab alasan dibalik pertumbuhan perederan uang menurun, seperti yang disampailan Jokowi. Ia mengatakan, di antaranya risiko ekonomi yang tinggi di tengah ketidakpastian global membuat perbankan akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

Kondisi itu membuat adah kebijakan bank lebih konservatif dalam menyalurkan dana. Tujuannya untuk memastikan kredit yang disalurkan berkualitas sehingga neraca transaksi berjalan kembali mencatatkan defisit.

“Semua hal ini menyebabkan adanya penurunan dana yang bersumber dari luar pada sistem keuangan sehingga berdampak pada likuiditas sistem perbankan,” kata Josua.

Di sisi lain, ia melanjutkan, lebih agresifnya kenaikan suku bunga acuan global dibandingkan dengan suku bunga acuan BI membuat sebagian pelaku usaha menempatkan dananya pada deposito di luar negeri sehingga memicu outflow.

Untuk menahan hal tersebut pemerintah dan BI sudah mengeluarkan berbagai instrumen untuk mencegah aliran dana keluar seperti kebijakan aturan DHE SDA, TD valas, SRBI, SVBI, SUVBI. Jadi secara keseluruhan, kondisi tersebut mengurangi penempatan DPK di perbankan.

Meski begitu, Josua menekankan, dari data-data yang ada likuiditas pada sistem perbankan masih ample. Selain memang adanya kebijakan makroprudensial yang longgar dari BI, pertumbuhan kredit juga cenderung melambat atau yang dia anggap lebih tepat dikatakan tengah normalisasi.

Ada beberapa faktor penyebabnya, Ekonomi Indonesia cenderung commodity centric sehingga penurunan harga komoditas global akibat risiko perlambatan ekonomi global akan menurunkan pendapafan perusahaan, sehingga memengaruhi keputusan untuk belanja capexnya yang berujung pada penurunan permintaan kredit.

Tingginya ketidakpastian ekonomi baik dari luar maupun dalam negeri juga akan membuat terjadinya aksi wait and see dalam bisnis melakukan ekspansi. Risiko ekonomi yang tinggi di tengah ketidakpastian global juga membuat perbankan akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

Seperti Banjaran, Josua menilai dugaan Jokowi terkait likuditas perekonomian yang mengering akibat dana-dana bank lari ke pasar surat berharga tak sepenuhnya benar. Sebab, porsi kepemilikan mereka masih di sekitar 20% dari pool liquidity di sistem keuangan Indonesia.

“Jadi tidak bisa dikatakan berisiko mengganggu likuditas perbankan dalam melakukan peran intermediasi nya. Namun, yang mungkin bisa kami beri masukan adalah ketika pemerintah melakukan penghimpunan dana melalui penerbitan SBN harus juga diikuti dengan peningkatan spending agar memacu roda perekonomian,” ucap Josua.

3. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro

Senada dengan kedua ekonom di atas, pria yang akarab disapa Asmo itu mengakui, pertumbuhan dana pihak ketiga atau DPK dan kredit di perbankan pada tahun ini akan rendah, masing-masing di kisaran 6%-8%, dan 7%-9%. Sedangkan bank besar bisa di atasnya sekitar 1%-2%.

Tak tumbuh dua digitnya DPK dan kredit itu ia anggap memang dipicu sikap hati-hati perbankan karena adanya risiko tekanan ekonomi global akibat perang, harga komoditas yang bergejolak, pelemahan ekonomi, serta masih tingginya inflasi dan suku bunga acuan bank sentral global.

“Ini jadi catatan karena appetite sebenarnya untuk memberikan kredit itu masih cukup tinggi, namun bank akan sangat prudent melihat dan memitigasi risiko sambil melihat peluang,” tutur Asmo.

Kendati begitu, Asmo menekankan, pada 2024 ini maski ada tambahan risiko politik yang biasanya dicermati para investor, aliran modal masih tetap masuk menambah likuditas di domestik, karena tren Pemilu dan Pilpres di dalam negeri yang selalu kondusif, dan transisi politik masih berjalab mulus.

“Global market juga sudah sangat agresif memperhitungkan sukbung acuan the Fed turun di Maret 2024, namun kalau kita being konsercatif di semester II itu ada peluang fed fund rate turun 50 bps paling tidak, dan kemungkinan kita perkikana paling tidak suku bunga acuan BI bisa mengikuti,” tegasnya.

Ketika suku bunga turun tentu saja biaya pinjaman atau cost of borrowing turun, dan return on investment juga akan relatif membaik terutama jika investor yang kemarin beli surat berharga atau bonds saat yieldnya 7% akan mendapatkn ptoensi cuan ketiak mendapat rate sedang turun.

“Ekspektasi investasi atau capex juga akan meningkat, itu yang pertama dari arah suku bunga global,” tegas Asmo.

4. Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto

Myrdal juga menganggap, likuditas sebetulnya tidak kering diperbankan, dan kecenderungan bank untuk menyalurkan kredit masih tinggi meski pertubuhannya masih di bawah target Bank Indonesia di level 9-11%. Geliat penyaluran kredit pun katanya masih mendekati 9%.

“Dari sisi perbankan juga bukannya tidak ingin memberikan kredit ke sektor manufaktur, atau riil, tapi memang dari perbankan sendiri punya pipeline untuk mengarahkan kredit ke sektor-sektor prospektif,” tegasnya.

“Jadi kalau kita lihat pertumbuhan kredit saat ini sebetulnya cukup kondusif, dan di sisi lain untuk kondisi likuditas perbankan dari sisi kepemilikan SBN memang naik, tapi kita lihat ini merupakan salah satu strategi perbankan,” ungkap Myrdal.

Myrdal menilai, kecenderungan bank untuk memegang surat berharga sejauh ini karena memang hanya sebatas untuk memitigasi risiko karena iklim suku bunga yang memang tengah tinggi secara global dan permintaan kredit atau pembiayaan yang terbatas.

Ketika tren suku bunga menurun pada tahun depan, ia menganggap dengan sendirinya bank akan mulai mengarahkan strategi itu untuk penyaluran pembiayaan.

“Saya lihat kondisinya tahun depan malah prospektif, tidak berbahaya, karena untuk tahun depan sendiri prospek suku bung kemungkinan akan menurun dan itu yang akan menjadi pendorong utama dari sisi perbankan. Kelihatannya akan mendapatkan keuntungan dari situasi di mana tren bunga akan turun periode tahun depan,” ucap Myrdal.

5. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet

Sementara itu, Yusuf mengatakan, apa yang disebut Jokowi dalam PTBI itu ialah kondisi efek crowding out atau kondisi beberapa pihak saling berebut untuk mendapatkan dana yang tersedia di masyarakat. Kondisi crowding out ini kerap kali terjadi ketika pemerintah membutuhkan dana yang relatif besar untuk membiayai dana pembangunan ataupun belanja yang dilakukan oleh pemerintah.

“Sehingga umumnya sektor swasta Harus bersaing dengan pemerintah untuk mendapatkan dana tersebut,” ujarnya.

Dalam kondisi tertentu akhirnya kerap kali sektor swasta ini “harus kalah” karena dalam menawarkan imbal hasil tertentu sektor swasta harus menawarkan imbal hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil yang ditawarkan oleh pemerintah,” ucap Yusuf.

Bagi pihak swasta yang kemudian tidak bisa bersaing maka akan mencari alternatif pembiayaan lain yaitu melakukan pinjaman ataupun utang dari luar negeri yang sifatnya lebih murah, sehingga mereka kemudian bisa melakukan ekspansi usaha dari pinjaman tersebut.

Di sisi lain, ia melanjutkan, selama pemerintah tidak punya kebijakan yang bisa “memaksa” perbankan untuk menyalurkan dana Lebih banyak ke sektor riil maka perbankan sendiri akan bekerja sesuai dengan natural kondisi mereka, yakni mencari penempatan dana yang relatif menguntungkan bagi mereka dan memperkecil risiko sehingga penempatan dananya di instrumen surat berharga pemerintah dan BI.

“Kondisi ini yang akhirnya mendorong banyak banget relatif lebih banyak menempatkan dana mereka ke beragam instrumen obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dibandingkan dengan menyalurkan kredit ke sektor riil ataupun ke UMKM yang secara risiko Saya kira memang relatif punya resiko lebih besar,” tegasnya.

Problem ini ditambah kebijakan Bank Indonesia yang juga mempunyai instrumen supaya bank bisa memarkirkan dananya di Bank Indonesia dan Bank Indonesia kemudian bisa memberikan imbal hasil tertentu dari dana yang ditempatkan oleh beragam pihak bank tersebut.

“Kondisi ini akhirnya juga mendorong Bang untuk lebih menempatkan dananya di BI ketimbang menyalurkan dana ke sektor riil ataupun UMKM,” tutur Yusuf.

Ia menekankan, ap yang disampaikan oleh Jokowi itu sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun ini, perebutan dana dan ketersediaan dana yang harus diperebutkan oleh beragam pihak itu sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya selama tren suku bunga relatif masih tinggi.

“Kemudian pemerintah juga menarik dana melalui penerbitan surat hutang dalam jumlah yang masih, saya kira apa yang dikhawatirkan atau di permasalahkan oleh Pak Jokowi masih akan terjadi di tahun-tahun berikutnya,” ucap Yusuf.

Pada 2022, ia mengatakan, rasio jumlah uang beredar Vietnam kisarannya di angka 138%, sementara Indonesia berada di angka 45%. Dari sisi rasio kredit Vietnam juga mencapai 136% sementara Indonesia hanya berada di kisaran 35%. Menyebabkan pertumbuhan ekonomi kedua negara juga berbeda, karena Vietnam kerap tumbuh di level 6%.

Oleh sebab itu, Yusuf menganggap, permasalahan sebetulnya ada pada kebijakan pemerintah sendiri. Untuk menangani masalah itu maka perlu pengurangan penarikan dana dari pemerintah maupun BI sendiri sehingga penyaluran pembiayaan sebagai aliran darah untuk menggerakan ekonomi bisa terjadi.

Di sisi lain, pemerintah harus bisa mendorong iklim industri formal lebih banyak, ketimbang saat ini yang masih di dominasi sektor informal. Besarnya sektor informal sebagai penggerak ekonomi hanya akan membuat perbankan tidak agresif menyalurkan kredit atau pembiayaan karena risiko kredit macetnya lebih besar.

“Ini yang kemudian tidak mudah karena sekali lagi secara natural bank tentu akan mencari profil yang bisa menguntungkan mereka dan minim resiko. Tidak mudah tentunya, mengingat saat ini kalau kita bicara proporsi sektor di Indonesia itu lebih banyak disumbang oleh sektor informal dan saya kira informalitas ini yang juga kerap kali menjadi halangan bank untuk menyalurkan dananya ke sektor riil,” ucap Rendy.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Gubernur BI: Rupiah Adalah Mata Uang Terbaik Dunia

(mij/mij)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts