Pekan Depan Super Sibuk, Dari The Fed Hingga BI Rate

Jakarta, CNBC Indonesia – Pekan depan pelaku pasar perlu memperhatikan secara cermat pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan moneter terbaru edisi September.

Read More

Pelaku pasar memang sudah menanti hasil dari pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), apalagi dengan inflasi AS yang kembali memanas pada Agustus lalu.

Sebelumnya pada Rabu malam waktu Indonesia, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) Negeri Paman Sam Agustus kembali naik menjadi 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 3,2% (yoy).

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada bulan lalu juga naik menjadi 0,6%, dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 0,2%. CPI bulanan AS sesuai dengan prediksi pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 0,6%.

Adapun CPI inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy), dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy).

Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.

Pada perdagangan Jumat (15/9/2023) lalu, harga minyak mentah WTI ditutup terapresiasi 0,68% di posisi US$ 90,77 per barel, begitu juga dengan minyak mentah brent ditutup naik 0,25% di posisi US$ 93,93 per barel.

Hal ini membuat kedua harga minyak acuan terbang dalam sepekan terakhir. Harga minyak mentah WTI berhasil melejit 3,73%, dan minyak mentah brent melesat 3,62%.

Masih membandelnya inflasi AS membuat prospek berakhirnya era suku bunga tinggi dipertaruhkan, karena The Fed berpotensi masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya hingga inflasi menyentuh target yang ditetapkan di 2%.

Kendati begitu, pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebih forward looking dari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama bank sentral AS akan memberikan jeda.

Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25%-5,50% sudah semakin dominan, yakni mencapai 98%.

Selain dari AS, pelaku pasar juga perlu memantau rilis beberapa data ekonomi dan agenda penting di China, di mana pada pekan depan, bank sentral China (People’s Bank of China/PBoC) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya.

PBoC akan mengumumkan kebijakan suku bunga pinjaman acuan terbarunya pada Rabu pekan depan. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan bank sentral Negeri Panda akan menahan suku bunga acuannya.

Adapun suku bunga pinjaman acuan (loan prime rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksi masih tetap di level 3,45%, sedangkan LPR tenor 5 tahun juga akan ditahan di level 4,2%.

Pemerintah China saat ini sedang berupaya untuk membangkitkan kembali perekonomiannya yang masih lesu, meski beberapa data ekonomi sudah ada tanda perbaikan.

Contohnya saja inflasi China, di mana inflasinya pada periode Agustus 2023 sudah terlepas dari deflasi yakni tumbuh 0,1% (yoy). Adapun pada Juli lalu, China mengalami deflasi yakni mencapai -0,3% (yoy).

Namun, nilai tersebut masih belum belum sesuai ekspektasi pasar yang proyeksi bisa tumbuh 0,2% (yoy). Inflasi inti juga tak berubah masih di 0,8% (yoy) dibandingkan bulan lalu.

Selain inflasi, penjualan ritel China juga meningkat sebesar 4,6% (yoy) pada Agustus 2023, meningkat dari pertumbuhan 2,5% pada bulan sebelumnya dan melampaui perkiraan pasar sebesar 3,0%.

Tak hanya itu, PMI Manufaktur Umum Caixin China naik menjadi 51,0 pada Agustus 2023 dari 49,2 pada Juli, mengalahkan estimasi pasar sebesar 49,3.

Meski ada pemulihan dari data inflasi, penjualan ritel, dan PMI manufaktur, tetapi anjloknya investasi di sektor properti yang dilanda krisis mengancam akan melemahkan langkah-langkah dukungan yang menunjukkan tanda-tanda menstabilkan perekonomian yang sedang goyah.

Investasi di bidang real estate turun 8,8% di bulan Agustus dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini semakin parah sejak awal tahun.

Untuk mempertahankan momentum pemulihan, PBoC mengatakan bahwa mereka akan memotong jumlah uang tunai yang harus disimpan bank sebagai cadangan untuk kedua kalinya pada tahun 2023 guna meningkatkan likuiditas.

Langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter lebih lanjut diperlukan karena sektor properti yang melemah, tingginya angka pengangguran kaum muda, ketidakpastian seputar konsumsi rumah tangga dan meningkatnya ketegangan AS-China mengenai perdagangan, teknologi dan geopolitik telah meningkatkan standar bagi pemulihan ekonomi yang tahan lama dalam waktu dekat.

Sejumlah stimulus sudah diguyur China sebagai booster ekonomi. Mulai dari stimulus untuk meningkatkan permintaan sektor properti yang terkontraksi akibat skandal Evergrande.

Sektor properti menyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China, sehingga pemangkasan bunga hingga uang muka pembelian rumah bagi warga Tiongkok diharapkan bisa mendongkrak sektor lain

Terbaru, pada Jumat lalu, PBoC bakal menggencarkan stimulus lagi melalui pemangkasan jumlah rasio cadangan perbankan atau reserve requirement ratio (RRR) kedua kalinya pada tahun ini.

PBoC diketahui akan menurunkan rasio cadangan perbankan sebesar 25 bp menjadi 7,4%. Langkah ini dilakukan untuk membantu bank-bank bisa menstimulasi ekonomi yang melambat. Stimulus ini akan menambah likuduitas di pasar hingga US$ 69 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun.

Sementara itu dari Indonesia, pada pekan depan, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbarunya.

BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.

Konsensus pasar dalam Reuters memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di lebel 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.

Apalagi, jika The Fed benar-benar mempertahankan kembali suku bunga acuannya sesuai prediksi pasar, maka BI yang kembali menahan suku bunga acuannya sudah sesuai dengan sikap The Fed, meski potensi berakhirnya era suku bunga tinggi belum terlihat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


IHSG Jumat Bisa Rebound, Joe Biden Bawa Kabar Baik

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts