Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Tanah Air mampu mencatatkan kinerja cemerlang pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat, sementara Mata Uang Garuda juga mampu bersinar melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Dari sisi IHSG, pekan lalu mampu menguat 2,28% sepekan ke posisi 6.869,57. Cemerlangnya kinerja indeks acuan dalam negeri dipicu oleh penguatan 5 hari beruntun sejak awal pekan.
Posisi pada penutupan Selasa (11/7/2023) menjadi yang terbesar dengan apresiasi 0,98%. Kemudian, pada perdagangan Jumat (14/7/2023) IHSG berakhir dengan apresiasi 0,87%. Sementara yang paling rendah ditutup menguat tipis 0,03% pada perdagangan Kamis (13/7/2023).
Pada perdagangan Jumat lalu, secara sektoral sektor energi kembali menjadi penopang terbesar IHSG pada hari ini yakni mencapai 2,6%. Selain sektor energi, sektor properti dan infrastruktur juga menopang IHSG masing-masing 2,27% dan 1,02%.
Dalam sepekan terakhir, data perdagangan menunjukkan investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 411,83 miliar di pasar reguler.
Dari pasar keuangan lain, Rupiah juga turut mencatatkan kinerja yang cemerlang pula. Merujuk data Refinitiv,nilai tukar rupiah ditutup di posisi Rp 14.955/US$1. Mata uang Garuda menguat 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pekan ini, rupiah mampu menguat 1,17% pada pekan ini. Penguatan tersebut adalah yang paling tajam sejak akhir April tahun ini atau dalam 2,5 bulan terakhir.
Penguatan pada pekan ini juga mengakhiri tren buruk rupiah yang ambruk pada empat pekan beruntun sebelumnya.Tak hanya itu, rupiah juga mampu mencatat rally panjang dengan menguat selama empat hari beruntun.
Rupiah sempat terbenam pada level Rp 15.000/US$1 pada 3-12 Juli atau enam hari perdagangan. Rupiah menguat tajam dengan ditopang oleh faktor dalam negeri dan eksternal.
Dari dalam negeri, kinerja rupiah terbantu oleh data ekonomi yang membaik mulai melandainya inflasi serta dirilisnya aturan mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Aturan DHE dibuat lebih ketat termasuk dengan mewajibkan eksportir menaruh DHE minimal 30% dengan jangka waktu paling singkat tiga bulan.
Aturan tersebut juga memungkinkan pemerintah mewajibkan konversi jika stabilitas ekonomi tengah goyang. Pengetatan aturan ini diharapkan mampu menambah pasokan dolar AS ke dalam negeri sehingga rupiah bisa semakin kuat ke depan
Lantas mampukah pasar keuangan melanjutkan kinerja menggembirakan pekan depan?
Investor tentu saja masih fokus mencermati sentimen pasar dari implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi yang menjadikan sinyal-sinyal bagaimana kondisi perekonomian global mempengaruhi pasar keuangan dalam negeri.
Pekan depan tampak menjadi pekan yang sibuk. Serangkaian data ekonomi penting akan dirilis. Awal pekan saja kita sudah disuguhkan dengan rilis data pertumbuhan ekonomi China untuk kuartal II-2023.
Perekonomian China naik 4,5% yoy pada kuartal I-2023, meningkat dari pertumbuhan 2,9% di kuartal IV-2022 dan melampaui perkiraan pasar sebesar 4%. Itu adalah laju ekspansi terkuat sejak Kuartal I-2022, di tengah upaya untuk memacu pemulihan pasca pandemi.
Namun, badan statistik China menyebutkan dalam sebuah pernyataan bahwa lingkungan global yang kompleks dan permintaan domestik yang tidak mencukupi berarti fondasi untuk pemulihan negara “belum kokoh”. China menetapkan target PDB moderat sekitar 5% untuk tahun 2023. Tahun lalu, ekonomi bertambah 3%, meleset dari target pemerintah sekitar 5,5%
Selain data pertumbuhan ekonomi, ada juga rilis data produksi industri untuk periode Juni 2023, penjualan retail periode Juni, serta data tingkat pengangguran periode Juni.
Serangkaian data ini tentu menjadi perhatian pelaku pasar. Pasalanya, sebelumnya data indikator ekonomi lainnya begitu mengecewakan. Sebagaimana diketahui, Ekspor China dilaporkan turun dengan besaran paling jumbo dalam tiga tahun pada Juni, angkanya merosot lebih buruk dari perkiraan yakni 12,4% secarayear-on-year(yoy). Sementara Impor juga turun lebih dari yang diharapkan yakni sebesar 6,8% (yoy).
Ini menandakan bahwa ekonomi China tampak semakin terpukul. Negara yang dipimpin oleh presiden Xi Jin Ping ini tampak kehilangan momentum untuk pulih setelah tertekan dari Covid-19. Pada kenyataannya memang pahit, indikator ekonomi kian lesu.
Kemudian di akhir pekan depan, China bakal kembali mewarnai sentimen ekonomi dengan rilis suku bunga untuk Loan Prime Rat 1Y dan Loan Prime Rate 5Y.
Dari dalam negeri bakal ada rilis data neraca perdagangan untuk periode Juni 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juni 2023 pada Senin (16/7/2023).
Surplus neraca perdagangan diperkirakan melonjak pada Juni 2023. Surplus naik karena lonjakan impor seperti pada Mei diproyeksi tidak akan terulang.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Juni 2023 akan mencapai US$ 1,17 miliar.
Surplus tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Mei 2023 yang mencapai US$ 0,44 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 38 bulan beruntun.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 19% (year on year/yoy) sementara impor terkoreksi 6,69%. Sebagai catatan, nilai ekspor Juni 2023 menguat 0,96% (yoy) dan melonjak 12,61% (month to month/mtm) menjadi US$ 21,72 miliar.
Impor tumbuh 14,35 (yoy) dan melonjak 38,65% (mtm) menjadi US$ 21,28 miliar.
Untuk diketahui, berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang merupakan kontributor utama terhadap total ekspor Indonesia. Sementara itu, impor nonmigas tercatat meningkat pada hampir seluruh golongan barang sejalan dengan aktivitas ekonomi yang terus meningkat.
Maka jika ada penurunan impor dari mitra datang utama ini, maka akan berpengaruh kepada nilai ekspor Indonesia.
Selain itu, Pada Rabu (18/7/2023) data ekonomi juga diwarnai oleh Amerika Serikat (AS). Berikut rincian jadwalnya.
Data ini tentu menjadi penting bagi pelaku sabar, pasalnya saat ini pelaku pasar masih saja butuh sinyal ke mana sebetulnya ekonomi AS bakal berlabuh. Apalagi data inflasi pekan lalu mulai menunjukan penurunan.
Bahkan, menurut ekonom veteran Steve Hanke cerita inflasi adalah sejarah. Salah satu alasannya adalah pasokan uang telah berkontraksi dari tahun ke tahun sebesar minus 4% di Amerika Serikat.
Hal ini diungkapkan oleh Hanke, seorang profesor ekonomi terapan di Universitas Johns Hopkins, mengatakan kepada CNBC “Street Signs Asia” pada Kamis (13/7/2023).
Dalam laporannya Ia mengungkapkan belum pernah melihatnya sejak 1938, di mana perubahan jumlah uang beredar menyebabkan perubahan indeks harga dan inflasi.
Tingkat inflasi AS pada Juni lebih rendah dari yang diharapkan sebesar 3%. Kenaikan secara year-on-year (yoy) terkecil dalam dua tahun. Indeks harga konsumen inti, yang menghapus harga makanan dan energi yang bergejolak, naik 4,8% dari tahun lalu dan 0,2% bulan ke bulan.
Mendinginnya IHK juga berarti meningkatnya daya beli konsumen. Penghasilan mingguan yang disesuaikan dengan inflasi untuk pekerja swasta rebound 0,5% dan naik 0,6% dari tahun ke tahun.
Di akhir pekan, AS bakal mengeluarkan data terkait tenaga kerja diantaranya klaim pengangguran. Ini juga penting untuk menjadi sinyal bagaimana langkah The Fed ke depan.
Kemudian, pada Rabu (19/7/2023) Zona Eropa dan Inggris bakal mendominasi rilis data indikator ekonomi mereka mulai dari inflasi dan data Indeks Harga Produsen (PPI) untuk periode Juni.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Wall Street “Terbakar”, Netflix-J&J Biang Keroknya
(aum/aum)
Sumber: www.cnbcindonesia.com