Penderitaan Malaysia Belum Berakhir, Ringgit Berdarah-Darah

Jakarta, CNBC Indonesia – Ringgit Malaysia (MYR) tak dapat menunjukkan tajinya terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Ketidakberdayaan ringgit Malaysia menjadi perhatian karena termasuk salah satu mata uang yang terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Dilansir dari Refinitiv, sejak 2 Januari 2023 ringgit Malaysia (MYR) relatif terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Penurunan MYR terjadi dari 0.22676 pada awal Januari 2023 menjadi 0.21400 pada Jumat pekan lalu (7/7/2023) atau turun sebesar -5,62%.

Depresiasi yang terjadi pada MYR bahkan lebih parah jika dilihat dari titik tertinggi selama 2023 yakni dari 0.23653 (27/1/2023) menjadi 0.21400 (7/7/2023) atau turun sebanyak -9,52%.

Pelemahan MYR tak lepas dari overlapping antara suku bunga AS dan suku bunga di Malaysia. Persilangan kedua suku bunga ini menjadi menandai spread yang diperoleh investor jika berinvestasi dalam aset berdenominasi ringgit dan dolar AS.
Pada Juli 2022, suku bunga AS ada di 2,25-2,50 % sementara suku bunga The Federal Reserve (The Fed) ada di 2,50%. Spread ada sekitar 0,25-0,50%.

Per Juni 2023, suku bung The Fed sudah di level 5,0-5,25% sementara suku bunga acuan di Malaysia di angka 3,0%. Spread yield ada di angka 2-2,5%. 
Spread antara kedua suku bunga masih jauh dibandingkan Indonesia.
Suku bunga acuan BI ada di level 5,75%. Artinya spread antara suku bunga BI dan The Fed ada di angka 0,50-0,75% atau lebih tinggi dibandingkan Malaysia.



Jika ditarik lebih jauh, kenaikan suku bunga AS pada awalnya terjadi akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang terjadi pada sejak akhir Februari 2022.

Dampak yang konkret terjadi adalah gangguan rantai pasok di domestik hingga kenaikan harga komoditas global.
Alhasil, inflasi meroket tak terelakkan hingga menembus rekor tertingginya selama 41 tahun pada 9,1%  (year on year/yoy) pada Juni 2022. Lebih lanjut, kenaikan suku bunga AS pun terjadi dengan sangat cepat dari yang sempat stagnan di 0,25% hingga saat ini di angka 5,00% – 5,25% per  Juni 2023.



Sebelum terjadinya perang Rusia & Ukraina, tepatnya pada awal 2020 hingga pertengahan 2022, MYR cukup perkasa terhadap USD.
Penguatan ini terjadi didukung dengan tiga kali mengalami capital inflow di rentang waktu tersebut. Sedangkan setelah suku bunga Malaysia disalip oleh AS, capital outflow pun terjadi dan akhirnya MYR semakin terpuruk.
Cadangan devisa Bank Negara Malaysia pun njjlok dari US$ 114,65 miliar per akhir Desember 2022 menjadi US$ 112,66 miliar per akhir Mei 2023.

Jika dilihat dari sisi yang lain, Bank Sentral Malaysia (Bank Negara Malaysia/BNM) cukup dilema jika kembali menaikkan suku bunganya sebab hampir setiap kali suku bunga dinaikkan, inflasi Malaysia mengalami penurunan.

Sedangkan saat ini, inflasi Malaysia sudah tergolong rendah, yakni 2,8% (yoy)  pada Mei 2023.
Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah jika suku bunga dinaikkan kembali, maka inflasi akan berpotensi mengalami penurunan kembali dan tidak menutup kemungkinan jika deflasi terjadi seperti awal 2020.

Kenaikan suku bunga acuan secara terus menerus juga akan menggerus permintaan kredit dan pertumbuhan ekonomi. 



Lain halnya lagi dengan neraca perdagangan suatu negara pun patut dicek.
Hasil yang positif atau surplus merupakan pertanda ekspor lebih banyak daripada impor. Malaysia mengalami surplus yang stabil sejak tahun 1998, terutama karena peningkatan ekspor produk listrik dan elektronik.
Meskipun begitu, trade surplus terus mengalami penurunan hingga Mei 2023. Maka dari itu, pemerintah beserta bank sentral perlu saling bekerjasama untuk membuat kebijakan dan keputusan agar nilai MYR dapat bertahan.




Foto: MATRADE
Monthly Trade Malaysia

 

Pelemaha nringgit tidak hanya terjadi dalam satu malam, Malaysia ringgit juga telah anjlok dalam beberapa bulan ke belakang. Sepanjang bulan Juni, mata uang negeri jiran terkoreksi hingga 1,21% terhadap the greenback.  Ringgit sudah anjlok 5,72% dalam setahun terakhir.

Bank Negara Malaysia, diperkirakan akan melakukan intervensi untuk memperkuat ringgit. Namun, mata uang Malaysia yang belum menunjukkan adanya penguatan menjadikan tanda tanya terkait aksi intervensinya.

Bank Negara Malaysia (BNM) yang tidak terlalu mengkhawatirkan depresiasi ringgit menyebabkan investor “menghukum” dengan menjual ringgit. Faktor pelemahan jangka pendek juga disinyalir akibat dana asing yang melakukan rebalancing atau penyesuaian investasi pada aset keuangannya.

Ringgit Malaysia juga melemah karena tingginya ketidakpastian menjelang pemilu negara bagian yang akan berlangsung pada Juli mendatang.

“Ada begitu banyak pertanyaan mengenai keberlangsungan koalisi pemerintah karena pemilu negara bagian akan segera berlangsung dalam waktu dekat,” tutur Alvin Tan, head of Asia foreign exchange strategy di RBC Capital Markets, dikutip dari Reuters.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Video” Indonesia Mulai “Tinggalkan” Dolar AS, Sudah Tepat?

(rev/rev)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts