penyebabsakit.com

Ribuan Investor Nungguin Saham INAF, Padahal Kinerja Jeblok

  • Saham INAF masih dikoleksi oleh ribuan investor, kendati kinerja jeblok.
  • Secara valuasi, saham INAF sudah tergolong mahal. (price-to sale ratio/PSR) di atas rule of thumb 1 dan di atas rerata industri (1,18 kali), sementara price-to book value (PBV) I mencapai 7,96 kali di atas industri (2,91 kali).
  • Industri farmasi RI masih cerah, ini menjadi peluang dan tantangan untuk Indofarma.

Jakarta, CNBC Indonesia – Sempat hype pada 2020 hingga awal 2021 di masa pandemi Covid-19, saham farmasi PT Indofarma Tbk (INAF) kini kembali minim aktivitas. Kendati sebenarnya, jumlah investornya masih terbilang banyak di tengah valuasinya yang masih premium.

Pada masa jayanya, volume perdagangan saham INAF bisa mencapai 20-50 juta saham secara harian. Sekarang, hanya sebanyak puluhan hingga ribu saham yang diperdagangkan.

Sementara, mengacu pada data Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah investor INAF mencapai 9.728 per akhir Desember 2022.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Walaupun tidak setinggi saat saham INAF menembus all-time high (ATH) di harga Rp7.300-an pada Januari 2021 (sebanyak 14.131 investor), jumlah pada Desember tersebut masih dua kali lipat dari investor INAF sebulan sebelum pagebluk.

Pada Februari 2020, investor emiten yang saat ini di bawah holding PT Bio Farma (Persero) tersebut baru sebanyak 4.846 orang.

Pertanyaannya, mengapa ribuan investor tersebut masih dengan erat menggenggam saham INAF yang secara fundamental kurang mengesankan?

Ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini, mulai dari percaya akan datang masa turnaround INAF hingga berharap harga segera berbalik arah hingga mental ‘nyangkut’ investor ritel kecil yang ogah cut loss terutama untuk saham yang sudah terkoreksi parah.

Rapor Indofarma
Tidak seperti emiten farmasi dan obat-obatan macam PT Sido Muncul Tbk (SIDO) atau PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), efek pandemi tidak menyelamatkan bottom line INAF.
Pada 2020, INAF hanya untung Rp27,58 juta pada 2020, atau ambles 99,65% atau nyaris 100% dari periode 2019 sebesar Rp 7,96 miliar.

Sementara, pada full year 2021, INAF malah menanggung rugi sebesar Rp37,58 miliar di saat perusahaan membukukan pendapatan bersih Rp2,9 triliun. Ini seiring beban-beban yang meningkat.

Rugi pada 2021 tersebut kemudian membengkak menjadi rugi Rp183,11 miliar dalam periode 9 bulan di 2022.


Sumber: BEI, Refinitiv (diolah) |^Angka dalam satuan miliar rupiah|*Untuk kinerja 2022 disetahunkan dari laporan Q3 2022

Sejak 2000, Indofarma sudah pernah mengalami rugi bersih sebanyak 8 kali, dengan sempat rugi 3 tahun beruntun pada 2016-2018. Karenanya, rugi bukanlah hal yang asing untuk emiten ini.

Profitabilitas INAF juga lebih buruk dibandingkan perusahaan sejenis-kecuali dengan sang sister company, BUMN PT Kimia Farma Tbk (KAEF), yang juga sedang merugi.
Metrik umum untuk melihat rasio profitabilitas, mulai dari net profit margin (NPM) atau margin laba bersih, return on equity (ROE) hingga return on assets (ROA) INAF kompak minus akibat rugi yang ditanggung perusahaan.

Tak pelak lagi, angka tersebut kontras dengan sejumlah pemain besar lainnya. Ambil contoh, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan NPM 11,73%, ROE 17,03%, dan ROA 12,65% atau SIDO yang punya NPM hingga ROA di angka 20-an ke atas. (Lihat tabel di bawah ini)


Valuasi Saham Mahal

Kemudian soal valuasi saham. Bahkan, dengan harga saham yang sudah anjlok sebesar 88% dari level ATH-nya, valuasi saham INAF masih tergolong mahal.


inafFoto: Refinitiv

arena mengalami rugi bersih, metrik macam rasio harga saham dibandingkan dengan laba per saham atau price-to earnings ratio (PER) tidak bisa digunakan untuk melihat valuasi saham INAF (dan juga KAEF).

Untuk itu, kita bisa menggunakan rasio harga saham dibandingkan penjualan per saham (price-to sale ratio/PSR). Dengan metrik ini, saham INAF tergolong mahal karena sudah di atas rule of thumb 1 dan di atas rerata industri (1,18 kali).

Rasio lainnya, price-to book value (PBV) INAF yang mencapai 7,96 kali, juga di atas industri (2,91 kali).

Walaupun, KLBF dan SIDO punya rasio PSR dan PBV (dan juga PER) yang premium, keduanya bisa dijustifikasi lantaran memiliki keunggulan (moat) yang besar, mulai dari pangsa pasar hingga ukuran perusahaan yang besar.

Artinya, investor rela membeli sedikit lebih mahal demi kedua perusahaan yang punya keunggulan khusus tersebut.

Harga saham INAF juga terus turun, minus 27,39% secara year to date (YtD). KLBF dan SIDO masing-masing menguat 7,66% dan 5,96%.

Berdasarkan rasio multiples di atas, harga wajar saham INAF saat ini berada di kisaran Rp305-Rp460/saham.

Sekilas Bisnis Indofarma

Didirikan sejak 1918 di era Hindia Belanda sebelum akhirnya diambil alih pemerintah RI pada 1950, Indofarma saat ini punya dua anak usaha, masing-masing di bidang perdagangan obat serta alat kesehatan dan laboratorium.

Selama ini Indofarma memproduksi obat generik berlogo, ethical branded, over the counter, hingga alat kesehatan.

Total produksi obat dan alat kesehatan pada tahun penuh 2021 mencapai 557,85 juta unit dan memiliki 1.135 outlet penjualan alat kesehatan. Belum lagi, Indofarma juga berhasil melakukan penyediaan vaksin Covid-19 untuk pemerintah sebesar Rp924,76 miliar.

Lebih lanjut, pangsa pasar Indofarma di bisnis farmasi Indonesia tergolong kecil, masih di bawah 1%. Bandingkan dengan Kimia Farma yang berada di peringkat ketiga dengan pangsa pasar 3,7% atau Kalbe Farma di peringkat keempat (3,1%).

Sang induk, Biofarma, sendiri memiliki pangsa pasar 2,0%–masih dalam 10 besar pemain utama farmasi.

Informasi saja, Dexa Media dan Sanbe masih menguasai pasar farmasi, masing-masing dengan pangsa pasar 5,6% dan 4,5%.

Prospek Bisnis Farmasi

Secara umum, bisnis farmasi RI masih memiliki ruang untuk tumbuh.

Menurut data, Kementerian Perindustrian RI (2021), market share sektor farmasi Tanah Air mengalami peningkatan, dari Rp65,9 triliun pada 2016 menjadi Rp88,36 triliun pada 2019.

Jumlah pemain di industri ini juga bertambah. Dalam 5 tahun (2015-2019, industri farmasi RI telah bertambah sebanyak 132 industri baru, yakni dari sejumlah 198 industri pada 2015 meningkat menjadi 230 industri pada 2019.

Sedangkan industri bahan baku obat juga meningkat dari sejumlah 8 industri pada 2016 menjadi 14 industri di tahun 2019.

Adapun, sebanyak 73% pangsa pasar farmasi nasional didominasi oleh perusahaan farmasi dalam negeri.

Belum lagi, berbicara jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa, merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi terbesar keempat dunia.

Kecenderungan orang untuk hidup lebih sehat, yakni dengan mengonsumsi vitamin atau suplemen kesehatan, pasca-pandemi dan resiliensi daya beli juga bisa menjadi pendorong pertumbuhan perusahaan farmasi.

Sementara, masih banyak tantangan yang menghinggapi industri farmasi, mulai dari impor bahan baku yang masih sangat besar (hingga 90%).

Contoh saja, Kalba Farma mengimpor 60% dari bahan baku pembuatan obat perusahaan.

Dus, bahan baku bisa menyumbang sekitar 30 persen dari seluruh biaya produksi obat.

Karena itu, seiring impor bahan baku obat masih menjadi andalan, kinerja perusahaan farmasi RI akan sangat sensitif terhadap kurs rupiah terhadap dolar.

Tantangan lainnya masih berkisar soal kendala teknologi dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Dapat Julukan Bank Cari Aman, BBCA Gak Produktif

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version