Rupiah Merosot 4 Pekan Beruntun, tapi Masih Terbaik di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah tercatat melemah 0,49% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.2.95/US$ sepanjang pekan ini. Rupiah sudah tidak pernah menguat dalam empat pekan beruntun, bahkan sempat menyentuh Rp 15.320/US$ yang menjadi level terlemah sejak 12 Januari lalu.

Meski demikian, nanyatanya rupiah masih menjadi mata uang terbaik di Asia sepanjang tahun ini. Melansir data Refinitiv, hingga Jumat (3/3/2022) rupiah tercatat masih menguat 1,9% melawan dolar AS. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, hanya rupee India yang juga menguat melawan dolar AS, yang lainnya melemah.

Read More

Posisi rupiah saat ini berada di urutan ke-empat mata uang dunia, hanya kalah dari peso Meksiko, forint Hungaria dan koruna Ceko.


Foto: Refinitiv

Rilis data inflasi serta aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Bank Indonesia mewarnai pergerakan rupiah pekan ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret lalu melaporkan inflasi pada Februari tumbuh 5,47% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 5,28%.

Sementara itu inflasi inti kembali menurun menjadi 3,09% (yoy), berdasarkan laporan BPS. Angka itu menjadi yang terendah sejak September tahun lalu.

“Tekanan inti masih dianggap moderat,” kata Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Rabu (1/3/2023).

BPS mengungkapkan penurunan inflasi inti ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan tingkat suku bunga acuan. Adapun, komoditas yang dominan memberikan andil terhadap inflasi komponen inti adalah sewa rumah dan upah asisten rumah tangga.

Namun, dia meningkatkan terkait dengan kewaspadaan jelang kenaikan harga di bulan Ramadan.

Di waktu yang sama BI resmi meluncurkan instrumen operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE). Aturan yang banyak dinanti para pelaku pasar ini diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Berdasarkan data dari Bahana Sekuritas suku bunga deposito valas yang diberikan BI berkisar antara 4,6% – 5,2% dengan tenor satu sampai enam bulan. Suku bunga tersebut lebih tinggi dari yang diberikan perbankan Singapura di kisaran 4,12% – 4,68%.

Dilihat sekilas kondisi kini berbalik, perbankan di Singapura terlihat perlu menaikkan suku bunga agar bisa mempertahankan deposito valas mereka.

Namun pada kenyataannya suku bunga yang diberikan perbankan Singapura saat ini bisa jadi lebih tinggi dari kisaran itu, tidak menutup kemungkinan sama dengan yang diberikan BI atau bisa saja lebih tinggi lagi. Sebab semakin tinggi nilai deposito pemilik dana tentunya bisa menegosiasikan bunga yang ingin diterima. Selain itu semakin panjang tenornya, maka suku bunga yang didapat juga semakin tinggi.

Nilai DHE Indonesia sangat jumbo jika dilihat dari neraca perdagangan yang sudah mencatat surplus 33 bulan beruntun. Total nilai surplus selama periode tersebut mencapai US$ 113,2 miliar, berdasarkan data Refinitiv.

Sayangnya, DHE tersebut banyak ditempatkan di luar negeri, terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang menurun pada tahun lalu.

Persaingan memperebutkan devisa sendiri tersebut kini tidak hanya datang dari negara tetangga, tetapi juga dari Barat. Imbal hasil obligasi AS (Treasury) melesat sangat tajam.

Imbal hasil Treasury tenor 6 bulan saat ini berada di atas 5%, hampir sama dengan suku bunga yang diberikan BI. Dengan bank sentral AS (The Fed) yang diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga dengan agresif, imbal hasil tersebut tentunya bisa semakin tinggi lagi, yang tentunya menjadi lebih menarik.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ambles! Rupiah Tembus Rp 15.700/USD

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts