Rusia Sukses Turunkan Inflasi, Amerika-Eropa Masih Kelabakan!

Jakarta, CNBC Indonesia – Perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu pemicu tingginya inflasi yang melanda dunia saat ini. Bank sentral di berbagai negara pun mengambil tindakan yang cepat dan agresif guna menurunkan inflasi.

Read More

Inflasi di Rusia juga mengalami lonjakan yang signifikan, tetapi mampu diturunkan dengan cepat. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Rusia pada April melesat 17,83% year-on-year (YoY) menjadi yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Nilai tukar rubel yang jeblok dan disrupsi rantai pasokan menjadi pemicu lonjakan inflasi tersebut. Namun, bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) mengambil langkah cepat membalikkan keadaan.

Sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan Sekutu membuat kurs rubel jeblok lebih dari 100% melawan dolar AS ke rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$ pada awal Maret lalu.

Namun tidak berlangsung lama, hanya dalam tempo 2 bulan rubel berbalik menguat dan menjadi mata uang terbaik di dunia hingga saat ini.

CBR kala itu mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga menerapkan kebijakan capital control yang memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel.

Alhasil, rubel langsung berbalik menguat tajam, inflasi pun menurun dalam 7 bulan beruntun. pada November lalu, inflasi di Rusia tercatat tumbuh 12% (yoy), itu pun masih bisa lebih rendah lagi seandainya CBR tidak menurunkan lagi suku bunganya.

Sejak inflasi mulai menurun, CBR tercatat 6 kali memangkas suku bunga hingga menjadi 7,5%. Level suku bunga tersebut bahkan lebih rendah dari sebelum perang dengan Ukraina.

Berbeda dengan CBR, bank sentral AS (The Fed), Eropa (European Central Bank/ECB) dan Inggris (Bank of England/BoE) masih terus menaikkan suku bunganya guna menurunkan inflasi.

Ketiganya pada Kamis (15/12/2022) menaikkan suku bunga masing-masing 50 basis poin.


Ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya mengatakan suku bunga akan terus dinaikkan, meski belakangan inflasi sudah mulai menurun.

“Data inflasi yang kita lihat pada Oktober dan November menunjukkan penurunan kenaikan harga secara bulanan. Tetapi masih diperlukan bukti yang substansial agar yakin inflasi berada pada jalur penurunan,” kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers Kamis pekan lalu.

Pernyataan Powell tersebut mengindikasikan kampanye The Fed menurunkan inflasi masih jauh dari kata selesai, suku bunga meski sudah berada di level tertinggi dalam 15 tahun terakhir (4,25% – 4,5%) akan kembali dinaikkan dan ditahan pada level tinggi dalam waktu yang lama.

Kemudian ECB selain menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 2% juga menyatakan akan mulai mengurangi neracanya sebesar EUR 15 miliar per bulan mulai Maret tahun depan sampai akhir kuartal II-2023. 

Pengurangan neraca (balance sheet) tersebut artinya ECB akan menyerap lebih banyak likuiditas. Tujuannya sama seperti bank sentral lainnya, untuk menurunkan inflasi.

Tetapi di sisi lain, harus dibayar dengan kontraksi ekonomi.

“Dewan Gubernur menilai suku bunga masih perlu naik secara signifikan pada laju yang tetap untuk mencapai level yang cukup tinggi guna memastikan inflasi kembali ke target jangka menengah 2% dalam waktu yang tepat,” tulis keterangan resmi ECB.

Artinya, ECB masih akan terus menaikkan suku bunga di tahun depan, sama dengan bank sentral lainnya.

Resesi pun sudah di depan mata. Eropa diperkirakan akan mengalami resesi di kuartal I-2023, berdasarkan hasil survei terbaru Reuters ke para ekonom.

Sementara itu suku bunga BoE dinaikkan menjadi 3,5% guna menurunkan inflasi yang mencapai 10,7% year-on-year (yoy), level tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

BoE di bawah pimpinan Andrew Bailey bahkan menyatakan akan merespon dengan kekuatan penuh jika diperlukan untuk menurunkan inflasi.

Confederation of British Industri (CBI) bahkan memperingatkan Inggris bisa mengalami “dasawarsa yang hilang” atau “lost decade”. Jepang pernah mengalaminya, di mana pertumbuhan ekonominya sangat rendah hingga negatif pada periode 1991 – 2000.

“Inggris dalam stagflasi – dengan inflasi yang sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi negatif, penurunan produktivitas dan investasi bisnis,” kata Tony Danker, Direktur Jenderal CBI sebagaimana dilansir CNN Business, Rabu (5/12/2022).

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Bukan PHK, 40% Warga AS Berniat Resign! Tanda Resesi ‘Palsu’?

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts