Saat Bos OJK Jadi Emergency Contact dan Ditagih Tunggakan Paylater


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi bercerita soal pengalamannya dijadikan “emergency contact” tanpa dia ketahui.

Friderica atau akrab disapa Kiki mengatakan suatu hari ditelepon debt collector dengan “nomor cantik” yang kemudian menagih tunggakan paylater orang lain.

“Baru-baru ini saya ditagih sama debt collector. Ternyata itu digunakan oleh mantan asisten kami ya, di tempat kami bekerja sebelumnya. Itu karena belanja online terlalu asyik, ya. Dan mungkin nama saya dipakai guarantor ya,” kata Friderica saat memberi sambutan di Penandatanganan Kerja Sama OJK dan Kemenko Perekonomian, Jumat (2/2/2024).

Hal itu ironis, mengingat perempuan yang akrab disapa Kiki itu kerap kali melakukan sosialisasi terkait literasi keuangan.

“Saya merasa, waduh saya ini sosialisasi sampai dari ujung ke ujung ternyata orang-orang dekat saya juga belum tersosialisasi,” pungkasnya.

Maka demikian, Kiki mengatakan literasi keuangan masyarakat menjadi tanggung jawab semua pihak.

Seperti diketahui, para penagih utang pinjaman online kerap kali “mengejar” para kontak darurat agar mereka menyampaikan kepada para debitur untuk membayar utangnya.

Hal yang meresahkan, kerap kali orang-orang yang menjadi emergency contact ini tidak pernah menyetujui untuk menjadi kontak darurat daripada para penunggak utang

Kiki sebelumnya pernah mengatakan penagihan yang melibatkan kontak yang tak bersangkutan termasuk ilegal.

“Mesti dibedain pinjol legal dan ilegal. Kalau pinjol legal itu cuma tiga [syarat]. Camilan, camera microphone sama location, tapi kalau udah sampai minta kontak-kontak, kita itu berarti ilegal,” jelas Kiki.

Menurutnya, hal itu yang memudahkan masyarakat dalam membedakan layanan fintech yang legal dan ilegal.

“Jadi kalau sudah nanya kontak berapa ini itu, itu harus hati-hati,” pungkas Kiki.

Perlu diketahui, UU No. 27 Tahun 2027 tentang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menegaskan data pribadi yang digunakan oleh pihak lain wajib diketahui tujuan dan penggunaannya oleh pemilik data pribadi. Bahkan Pasal 20 UU PDP juga menegaskan bahwa pengendali data pribadi wajib memperoleh persetujuan yang sah secara eksplisit dari subjek data pribadi untuk dapat memproses data pribadi.

Lantas, orang yang menjadi kontak darurat harus memberikan persetujuan secara langsung. Tidak bisa serta merta karena persetujuan dari si peminjam saja.

Untuk diketahui, pengendali data pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan data pribadi. Setiap orang dalam hal ini adalah perseorangan atau korporasi, sedangkan badan publik berarti lembaga yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Dengan demikian, bentuk persetujuan pemrosesan data pribadi harus dilakukan dengan adanya persetujuan tertulis atau terekam baik secara elektronik ataupun nonelektronik. Jika persetujuan itu memuat tujuan lain, harus memenuhi ketentuan yang dapat dibedakan secara jelas dengan hal lain dan dapat dipahami.

Pasal 57 UU PDP menyatakan bahwa penyalahgunaan data pribadi pinjol yang dilakukan pengendali data pribadi atau dalam hal ini adalah penyelenggara pinjol yang tidak punya persetujuan atas dasar pemrosesan data pribadi dapat dikenai sanksi administratif, yakni berupa, peringatan tertulis, penghentian sementara semua kegiatan pemrosesan data pribadi, penghapusan atau pemusnahan data pribadi, dan/atau denda administratif.

Denda administratif dikenakan paling tinggi 2% dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Jelang Libur Masyarakat Banyak Pakai Pinjol, Ini Pesan OJK

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts