Sakit Paru-paru & Kisah Kemunculan Raja Rokok Pertama RI

Jakarta, CNBC Indonesia – Tidak dapat dipungkiri, rokok kretek nyatanya menyumbang pendapatan besar untuk perekonomian di Indonesia. Pasalnya, dalam industri kretek dalam negeri terdapat ribuan orang yang terlibat dari hulu sampai ke hilir, mulai dari petani, pelinting, sampai distributor.

Read More

Namun setelah ditelusuri, ternyata kebesaran industri kretek di Indonesia bermula dari ketidaksengajaan bahkan bermula dari seorang yang memiliki penyakit paru-paru. Lantas bagaimana perjalanan kisah industri kretek dalam negeri? Simak informasi berikut ini!

Seperti yang sudah tertuang dalam Kretek Jawa (2011) oleh Rudy Badil, cerita berawal dari seorang warga Kudus Kulon bernama Djamhari. Selama bertahun-tahun, dia mengalami sakit paru-paru. Napasnya selalu sesak, atau istilah awam disebut bengek. Berbagai pengobatan telah dicoba, tetapi tak kunjung berhasil.

Hingga akhirnya, dia iseng mencampur cengkeh dan tembakau yang dikeringkan ke dalam gulungan kulit jagung. Kulit jagung tersebut digulung lalu dibakar ujungnya. Saat dibakar, timbul suara “kretek”, asap tebal, dan selanjutnya dihisap perlahan-lahan.

Anehnya, setelah berulangkali mengisap ramuan tersebut, penyakitnya membaik. Bahkan bisa sembuh. Napasnya lega dan tak lagi sesak. Kejadian ini secara cepat menyebar ke penduduk kampung.

Mereka meminta agar Djamhari memproduksi massal temuannya itu dan menjualnya untuk umum. Sejak itulah, rokok temuan Djamhari itu dikenal luas yang kemudian disebut sebagai rokok kretek.

“Sebagian warga meniru cara memproduksi rokok kretek itu sehingga kretek berkembang menjadi industri rumah tangga dan melahirkan golongan menengah baru,” tulis Rudy Badil.

Salah satu warga tersebut adalah Nitisemito. Seperti dicatat dalam Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah (1953), pada 1910 Nitisemito mulai membuat rokok sendiri secara kecil-kecilan.

Menurut Nuran Wibisono dan Marlutfi Yoandinas dalam Kretek: Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia (2014), dia sempat berganti-ganti merek untuk produk kreteknya, dari Kodok Mangan Ulo, Soempil, Djeroek hingga selanjutnya mantap menggunakan merek Tjap Bal Tiga pada 1916.

Saat menggunakan Tjap Bal Tiga inilah bisnisnya besar. Karena industri rokok masih jarang, Tjap Bal Tiga laku di pasaran. Produksi rokoknya per hari mencapai 8 juta batang. Bisnisnya membesar dan pada 1934 ia mempekerjakan 10 ribu buruh.

Bersamaan dengan itu, dia juga melakukan upaya pemasaran masif. Solichin Salam dalam Kudus Selayang Pandang (1995) menyebut Nitisemito mempergunakan selebaran lewat udara berisi produknya dengan menyewa kapal terbang jenis Fokker seharga 150-250 gulden.

Cara ini terbukti efektif. Perusahaan rokok miliknya semakin besar dan jaya. Dari sinilah, Nitisemito disebut sebagai raja rokok pertama Indonesia.

Sayang, saat Jepang datang ke Indonesia pada 1942, bisnisnya lesu. Kelesuan ini berlanjut ketika Indonesia merdeka. Hingga akhirnya benar-benar berhenti ketika dirinya meninggal dunia pada 7 Maret 1953.

Tjap Bal Tiga boleh hilang, tetapi setelahnya muncul kerajaan bisnis baru yang sama-sama lahir di kudus bernama Rokok Djarum.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Kisah Raja Rokok Pertama RI, Ada Jasa Orang Sakit Paru-Paru

(fsd/fsd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts