Seminggu Ambles, Akankah Rupiah Bangkit Efek Suku Bunga Naik?

Jakarta, CNBC Indonesia – Sepanjang pekan lalu rupiah terpantau babak belur dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS). Akankah “jamu pahit” Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga ditambah “jamu manis” dari berbagai insentif akan menjadi gairah rupiah menguat pekan ini?

Melansir data Rupiah, pada perdagangan yang berakhir Jumat (20/10/2023) mata uang Garuda ditutup pada Rp15.870/US$, melemah 0,38% secara harian. Secara mingguan rupiah juga masih terdepresiasi 1,21%, semakin melanjutkan tren pelemahan selama tujuh minggu berturut-turut.

Read More



Pelemahan rupiah terjadi ketika dolar semakin perkasa, terpantau dari indeks dolar AS (DXY) pada akhir pekan lalu menguat 0,10% menjadi 106,36. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan satu hari sebelumnya yang berada di angka 106.25.

Gerak rupiah yang terus melemah selama sepekan terakhir mendorong Bank Indonesia (BI) secara tak terduga mengumumkan menaikkan suku bunga menjadi 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (19/10/2023).

Keputusan tersebut di luar ekspektasi para pelaku pasar yang memproyeksi BI masih bisa menahan suku bunga di level 5,75%. Kenaikan ini menjadi yang pertama setelah suku bunga ditahan dalam delapan bulan terakhir.

BI mencatat pelemahan rupiah sejalan dengan kaburnya investor luar negeri sepanjang minggu lalu. Dari data BI terkait transaksi pada 16 – 19 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat berada dalam posisi jual dengan neto Rp5,36 triliun.

“Total ini terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI,” papar Direktur Eksekutif Kepala Departemen BI Erwin Haryono, Jumat (20/10/2023).

Adapun, selama tahun 2023, transaksi asing masih tercatat di posisi beli neto Rp51,45 triliun di pasar SBN, namun tercatat jual neto Rp7,26 triliun di pasar saham. Sementara itu, untuk SRBI yang baru dirilis bulan lalu, asing tercatat beli neto Rp11,06 triliun.

Di tengah outflow asing ini, premi CDS Indonesia 5 tahun per 19 Oktober 2023 mencapai sebesar 100,83 bps. Erwin mengungkapkan posisi ini naik dibandingkan per 13 Oktober 2023 sebesar 95,48 bps.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan alasan kenaikan suku bunga pada Oktober 2023 ini karena ada lima perubahan yang menjadi sorotan saat ini. Bahkan perubahan ini telah diakui oleh banyak negara yang hadir dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2023 di Maroko.

Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dari perkiraan awal 2.9% menjadi 2,8%. Di samping adanya divergensi pertumbuhan antar negara yang semakin melebar.

Kedua, meningkatnya tensi ketegangan geopolitik. Implikasinya paling nyata sudah terlihat pada harga minyak bumi dan pangan. Perry melihat kondisi ini akan memperlambat penurunan inflasi di banyak negara.

Ketiga, suku bunga acuan AS fed fund rate akan tinggi dalam waktu yang lama. Perry juga melihat akan ada kenaikan suku bunga acuan AS pada Desember 2023.

Keempat, Perry menjelaskan kenaikan suku bunga acuan tidak hanya di jangka pendek tapi kebijakan moneter menaikkan suku bunga global jangka pendek. Sehingga US treasury sekarang naik, dengan begitu spread dengan SBN tenor 10 tahun kian menipis, membuat capital outflow masih deras.

Kelima, konsisi dolar AS yang begitu perkasa menekan mata uang banyak negara di dunia, termasuk Rupiah.

Harapannya, dengan “Jamu Pahit” BI menaikkan suku bunga ini bisa memberikan gairah positif pada gerak rupiah pekan ini. Tak hanya itu, BI juga memberikan “Jamu manis” agar kenaikan suku bunga ini harapannya tak memberikan tekanan berlebihan terhadap industri.

Pertama, BI merilis Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas, termasuk hilirisasi (minerba, pertanian, perkebunan, dan perikanan), perumahan (termasuk perumahan rakyat), pariwisata dan ekonomi kreatif, UMKM, KUR, Mikro, dan hijau yang telah berlaku sejak 1 Oktober 2023.

Dari KLM sebelumnya, Perry mengungkapkan BI menambah likuiditas hingga Rp 50 triliun. “Nah sekarang yang sudah terealisasi kita tambahin likuiditasnya untuk mendorong kredit pembiayaan,” kata Perry.

Adapun, sebanyak 120 bank sudah memanfaatkan insentif ini. “Tambahannya Rp 28,79 triliun, kita sudah tambah likuiditas dari sekitar Rp 50 triliun,” lanjutnya.

Dengan demikian, masih ada Rp 20 triliun yang bisa dimanfaatkan perbankan. “Tapi janji lho para bankir untuk salurkan kredit jangan ditaruh lagi ke SBN kita tambah likuiditas,” tegas Perry.

Kedua, BI melonggarkan likuiditas dengan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 bps dari 6% menjadi 5% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 5%; dan rasio PLM syariah sebesar 100 bps dari 4,5% menjadi 3,5% untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS), dengan fleksibilitas repo sebesar 3,5%.

Terakhir, BI juga memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran Rasio Loan To Value (LTV) untuk Kredit Properti dan Rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100%. Dengan demikian, BI mendorong dilanjutkannya kebijakan Down Payment (DP) 0% untuk properti hingga 2024.

Teknikal Rupiah

Secara teknikal dalam basis waktu per jam, gerak rupiah dalam melawan dolar AS terpantau masih babak belur atau dalam tren pelemahan, bahkan posisi sudah semakin mendekati level psikologis Rp16.000/US$.

Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (20/10/2023) nilai tukar rupiah ditutup pada posisi Rp15.870/US$, mendekati Rp15.900/US$ sebagai resistance terdekat, apabila posisi ini ditembus ke atas ada potensi resistance selanjutnya ke Rp16.000/US$ diuji semakin memungkinkan. Pelaku pasar perlu mencermati posisi resistance berdasarkan level psikologis tersebut.

Sementara itu, posisi support atau potensi pembalikan arah menguat dalam jangka pendek bisa dicermati pada angka Rp15.850/US$. Angka tersebut bertepatan dengan garis rata-rata selama 20 jam atau moving average 20 (MA20).




Foto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS dalam basis waktu per jam

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


The Fed Tahan Suku Bunga, Rupiah Malah Babak Belur

(tsn/tsn)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts