Terjebak di Tengah Kekuatan Dua Kubu, IHSG Pun Jadi Galau

Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak sangat labil pada pekan ini. Tarik menarik sentimen dalam negeri dan luar negeri yang bertolak belakang membuat IHSG naik turun sepanjang pekan ini.

Read More

Pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (17/2/2023), IHSG ditutup di posisi 6895,71. IHSG nyaris tidak bergerak dan hanya menguat 0,05 poi atau 0,0007%.

Total volume perdagangan kemarin ini menembus 25,4 miliar saham dengan total nilai transaksi Rp 9,8 triliun. Sebanyak 213 saham menguat, 290 saham turun, dan 225 saham stagnan.

Penguatan kemarin memutus tren pelemahan yang terjadi pada Rabu dan Kamis pekan ini.




Dalam lima hari perdagangan pekan ini, IHSG dua kali ditutup pada zona merah yakni pada Rabu dan Kamis sementara tiga hari sisanya di zona hijau.

Secara keseluruhan, IHSG masih menguat 0,22% dalam sepekan. Penguatan ini berbanding terbalik dengan pekan sebelumnya di mana IHSG melemah 0,45%.

Kendati menguat pada pekan ini, IHSG tidak menunjukkan kinerja yang impresif. IHSG sempat menyentuh level psikologis 6.900 pada Senin hingga Rabu pekan ini tetapi kemudian terpelanting ke bawah level tersebut sejak Kamis.

Investor asing juga masih mencatatkan net sell sebesar Rp 276,3 miliar sepekan terakhir.

Cenderung labilnya pergerakan IHSG pada pekan ini disebabkan oleh dua sentimen yang saling bertolak belakang.

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari segala sisi. Di antaranya adalah inflasi yang melandai, surplus neraca perdagangan yang masih besar yakni US$ 3,87 miliar, serta keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga.

Keputusan BI menahan suku bunga pada Kamis (16/2/2023) sudah sesuai ekspektasi pasar.

Keputusan tersebut diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang kencang maka pendapatan perusahaan pun bisa terdongkrak.

Di sisi lain, sentimen negatif sangat kencang dari luar negeri. Ambruknya Wall Street serta meningkatnya kekhawatiran pasar mengenai kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menjadi penyebabnya.

Pada Kamis (16/2/2023), bursa Wall Street turun lebih dari 1%. Kondisi Wall Street sedikit membaik pada penutupan perdagangan Jumat (17/2/2023).

Indeks Dow Jones menguat 0,39% tetapi indeks Nasdaq melemah 0,58% sementara indeks S&P 500 terkoreksi 0,28%.

Mayoritas bursa Asia juga rontok pada akhir pekan. Indeks Nikkei melemah 0,66%, indeks Hang Seng anjlok 1,28%, sementara Shanghai Composite Index SSEC terkoreksi 0,77%. Namun, indeks Straits Times Singapura menguat 0,52%.

Pelaku pasar kini mengkhawatirkan jika The Fed akan terus melanjutkan kebijakan agresifnya setelah data ekonomi AS bergerak di atas ekspektasi pasar. Juga, karena sejumlah pejabat The Fed terus menyuarakan kekhawatiran tingginya inflasi.

Inflasi AS mencapai 6,4% (year on year/yoy) pada Januari 2023. Inflasi jauh di atas ekspektasi pasar yang berada di 6-6,2%. Daya pengangguran AS juga menunjukkan pasar tenaga kerja masih panas.

Indkes Harga Produsen AS juga menguat 0,7% (month to month/mtm) pada Januari 2023, jauh di atas ekspektasi pasar (0,4%).

Jika Teh Fed melanjutkan kebijakan agresifnya, hal ini tentu menjadi kabar buruk. Pasalnya, capital outflow bisa mengalir deras ke luar dari pasar keuangan Indonesia.

Kebijakan moneter ketat juga bisa menekan pertumbuhan ekonomi AS padahal Negara Paman Sam adalah motor utama pertumbuhan ekonomi global.

Teh Fed sendiri sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 450 bps sejak Maret tahun lalu, menjadi 4,5-4,75%. 

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


IHSG Juara Saat Bursa Lain Merana

(mae/mae)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts