Tewas Lawan Dolar AS, Rupiah Jadi yang Paling Rapuh di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah menjadi salah satu mata uang di Asia yang terpuruk saat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan dapat dikatakan bahwa rupiah menjadi yang paling buruk dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya.

Read More

Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambles nyaris 1%, atau tepatnya 0,93% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar AS. Pada perdagangan Jumat (7/7/2023), rupiah ditutup melemah 0,6% ke Rp 15.130/US$. Rupiah kembali menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.


Jika dilihat dari pergerakan harian sepanjang pekan ini, rupiah hanya mampu menguat sekali saja yakni pada perdagangan Selasa lalu. Sedangkan sisanya terpantau melemah dihadapan The Greenback.

Kinerja rupiah dapat dikatakan terburuk jika dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya. Dibandingkan dengan mata uang utama Asia, rupiah menjadi yang terburuk karena menjadi yang terkoreksi paling besar.

Bahkan di kawasan Asia Tenggara saja, rupiah juga menjadi yang terburuk dibandingkan dengan ringgit Malaysia, peso Filipina, dolar Singapura, dan Baht Thailand.

Di kawasan Asia Tenggara, memang untuk ringgit dan peso juga melemah, tetapi koreksi rupiah yang paling besar dibanding ringgit dan peso.


Rupiah yang mencetak kinerja terburuk di Asia pada pekan ini tak lepas dari penurunan cadangan devisa yang baru saja diumumkan oleh Bank Indonesia (BI) pada Jumat kemarin.

BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2023 tetap tinggi sebesar US$ 137,5 miliar, meskipun menurun sebesar US$ 1,8 miliar dari posisi pada akhir Mei 2023 sebesar US$ 139,3 miliar.

BI mengungkapkan penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

“Bank Indonesia menilai bahwa cadangan devisa tersebut tetap mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” papar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Jumat (7/7/2023).

Meski mengalami penurunan, tetapi ke depan, BI memandang cadangan devisa akan tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan respons bauran kebijakan yang ditempuh BI dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Selain dari faktor internal terkait data cadangan devisa, faktor eksternal juga mempengaruhi pergerakan rupiah, sehingga kini kembali berada di level psikologis Rp 15.000/US$.

Salah satu sentimen negatif dari luar negeri, terutama dari AS yakni cukup tingginya tenaga kerja AS yang disinyalir bahwa inflasi AS masih cukup kencang dalam beberapa waktu ke depan.

Angka pekerjaan sektor swasta meningkat sebesar 497.000 pada Juni, menurut data dari perusahaan penggajian ADP. Angka ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak Juli 2022.

Sedangkan pada Jumat kemarin,

data tenaga kerja non-pertanian (non-farm payroll/NFP) dan data tingkat pengangguran dirilis.

Untuk tenaga kerja NFP, angkanya turun menjadi 209.000 pada Juni 2023, dari sebelumnya sebesar 306.000 pada Mei lalu. Angka itu juga lebih rendah dari prediksi pasar sebesar 250.000.

Sedangkan untuk tingkat pengangguran AS pada Juni 2023 juga mengalami penurunan, tetapi penurunannya cenderung tipis yakni menjadi 3,6%, dari sebelumnya pada Mei lalu sebesar 3,7%. Angka ini lebih rendah dari prediksi pasar yang memperkirakan tumbuh 3,7%.

Di sisi lain, tingkat pendapatan rata-rata per jam naik 0,4% bulan lalu setelah naik dengan selisih yang sama pada Mei Tercatat, dalam 12 bulan hingga Juni, upah naik 4,4%, menyamai kenaikan Mei.

Meskipun pertumbuhan lapangan kerja melambat, pasar tenaga kerja masih belum tertekan. Dengan masih panasnya tenaga kerja AS maka bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) diproyeksi akan kembali hawkish.

Investor memperkirakan sekitar 92% kemungkinan kenaikan pada pertemuan bank sentral akhir bulan ini, menurut alat FedWatch CME Group.

Ketika The Fed belum akan merubah sikap agresifnya dalam waktu dekat, maka dolar AS akan diuntungkan dan membuat pergerakannya semakin perkasa, apalagi berbicara terkait data tenaga kerja yang masih cukup kuat.

Ketika dolar AS semakin perkasa, tentunya rupiah tidak diuntungkan dan pada akhirnya membuat rupiah terus merana. Alhasil koreksinya terhadap sang greenback tidak terelakan dan membuat rupiah pun kembali memburuk pada pekan ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


FYI! Rupiah & Mayoritas Mata Uang Asia Kalahkan Dolar AS

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts