215 Bank di Dunia Rentan Terimbas Krisis Finansial!

Jakarta, CNBC Indonesia – IMF menyatakan bahwa sekitar 5% bank global rentan terhadap tekanan akibat kenaikan suku bunga bank sentral yang berkepanjangan. Sebanyak 30% bank lainnya, termasuk bank-bank besar, berisiko menjadi rentan selama periode pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi.

Read More

Hal ini terungkap dalam Global Financial Stability Report 2023 yang dirilis Oktober ini. Adapun, menurut laporan ini, penilaian kerentanan perbankan didasarkan pada stress test global baru yang diterapkan pada 900 pemberi pinjaman di 29 negara setelah bank-bank besar bangkrut baru-baru ini.

Laporan IMF ini menemukan lebih banyak bank yang lemah di negara-negara maju dan perbankan ini menyebar ke seluruh wilayah yang berada pada negara-negara yang mengalami kerugian.

“Meskipun hasil awalnya tidak terlalu buruk, tetapi terdapat 55 bank dengan aset lebih dari US$ 5,5 triliun yang mengalami penurunan modal di bawah 7% atau lebih dari 5 poin persentase pada tahun 2023,” tulis IMF, dikutip Senin (16/10/2023).

Kondisi ini tampak di banyak bank di Eropa, beberapa global systemically important bank (G-SIB) atau bank penting yang sistemik, termasuk Credit Suisse dan anak-anak usahanya, dengan gabungan aset mereka berkisar antara 5 hingga 10% dari total aset di setiap wilayah.

Bank-bank yang lemah lainnya juga tersebar di berbagai negara dan berukuran di Eropa dan terkonsentrasi di bank-bank kecil di pasar negara berkembang dan China.

Namun dalam skenario buruk ini, beberapa bank di Tiongkok dan negara-negara berkembang lainnya ditandai sebagai bank yang lemah, ditambah dengan semakin banyaknya bank di negara-negara maju termasuk beberapa global systemically important bank (G-SIB). Dengan demikian, jumlah total bank yang lemah menjadi 215 bank atau setara dengan 42 persen aset perbankan global.

Tobias Adrian, Direktur IMF, menilai pengetatan kondisi keuangan yang tajam akan membebani bank-bank lemah yang sudah menghadapi risiko kredit lebih tinggi.

“Survei dari beberapa negara menunjukkan adanya perlambatan dalam pemberian pinjaman bank, dan peningkatan risiko peminjam disebut-sebut sebagai alasan utamanya. Banyak bank akan kehilangan modal ekuitas dalam jumlah besar jika terjadi inflasi tinggi dan suku bunga tinggi serta perekonomian global akan memasuki resesi,” ujar Tobias dalam blog-nya.

Menurutnya, bank sentral harus tetap bertekad untuk mengembalikan inflasi ke sasarannya-pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan yang berkelanjutan tidak mungkin terjadi tanpa stabilitas harga.

“Jika stabilitas keuangan terancam, pembuat kebijakan harus segera menggunakan fasilitas pendukung likuiditas dan alat-alat lain untuk memitigasi tekanan akut dan memulihkan kepercayaan pasar,” ungkapnya.

Oleh karena itu, dia berpendapat adanya kebutuhan untuk lebih meningkatkan regulasi dan pengawasan sektor keuangan saat ini.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


IMF Jadi Juru Selamat Utang, Bursa Saham Pakistan Terbang 6%

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts