Alert! Detik-detik Resesi Global, Bursa Asia Babak Belur

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung terkoreksi pada perdagangan Jumat (16/12/2022), di tengah meningkatnya kembali kekhawatiran resesi global.

Read More

Indeks Nikkei Jepang dibuka amblas 1,31%, Hang Seng Hong Kong turun 0,13%, Shanghai Composite China melemah 0,4%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,34%, ASX 200 Australia merosot 0,8%, dan KOSPI Korea Selatan ambrol 1,45%.

Dari Jepang, data awal dari aktivitas manufaktur periode Desember 2022 dilaporkan kembali menurun.

Data aktivitas manufaktur yang tercermin pada purchasing manager’s index (PMI) versi Jibun Bank bulan ini turun menjadi 48,8, dari sebelumnya di angka 49 pada November lalu. Angka tersebut menjadi yang terlemah sejak Oktober 2020.

“Perusahaan manufaktur terus berjuang dalam menghadapi kondisi permintaan yang lemah dan tekanan inflasi yang parah,” kata S&P Global dalam rilis terbarunya.

PMI manufaktur Jepang kembali memburuk dan masih berada di zona kontraksi.

Mereka juga mencatat bahwa laju kontraksi di sektor tersebut telah melambat dan inflasi harga input kini berada pada level terendah sejak September 2021.

Namun, dari aktivitas jasa Jepang mengalami peningkatan pada bulan ini. Data flash reading PMI jasa Jepang versi Jibun Bank pada bulan ini naik menjadi 51,7, dari sebelumnya pada bulan lalu di angka 50,3.

Berkebalikan dengan PMI manufaktur, PMI jasa Jepang berada di zona ekspansi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

Ekonomi Jepang hingga saat ini masih berada di bawah tekanan dari gabungan kenaikan inflasi dan melemahnya permintaan luar negeri untuk barang-barangnya.

Hal ini membuat Negeri Matahari Terbit itu masih mencatat defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan pada bulan lalu. Sementara sentimen di antara produsen terbesarnya memburuk.

Perekonomian Jepang juga secara tak terduga masih mengalami kontraksi pada kuartal III-2022, dan diperkirakan akan bertahan pada pola yang sama dalam beberapa bulan mendatang.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah, mengikuti kembali Wall Street pada perdagangan kemarin, yang juga terkoreksi, bahkan lebih parah, karena investor kembali khawatir dengan potensi resesi global.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,25%, S&P 500 anjlok 2,48%, dan Nasdaq Composite longsor 3,23%.

Data penjualan ritel yang mengecewakan menandakan bahwa inflasi sudah berdampak di tingkat konsumen.

Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada bulan lalu turun menjadi 0,6%, dari sebelumnya sebesar 1,3% pada Oktober lalu. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan sebesar 0,3%.

Aksi jual di Wall Street sudah dimulai sejak Rabu lalu, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengisyaratkan bahwa mereka masih akan melanjutkan sikap hawkish-nya hingga tahun depan.

The Fed juga memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) menjadi kisaran 4,25% – 4,5%. Kenaikan ini sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.

Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.

“Reaksi pasar sekarang memperhitungkan resesi dan menolak kemungkinan sikap melunak yang baru-baru ini disebutkan oleh Powell,” kata Quincy Krosby, kepala strategi global di LPL Financial, dikutip dari CNBC International.

Di lain sisi, klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Desember kembali turun menjadi 211.000, atau turun 20.000 dari pekan sebelumnya menurut Departemen Tenaga Kerja.

Dengan klaim pengangguran yang turun, maka data ketenagakerjaan di AS cenderung masih cukup baik, sehingga hal ini menjadi ‘amunisi’ bagi The Fed untuk terus melanjutkan sikap hawkish-nya, meski perekonomian AS terancam resesi.

Kampanye kenaikan suku bunga agresif The Fed akan mendorong ekonomi Negeri Paman Sam ke dalam resesi, di mana hal ini sudah lama terdengar di Wall Street, sehingga setiap kali investor mulai optimis, tetapi mereka juga langsung berubah sikap menjadi khawatir.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Kode Keras Buat IHSG, Bursa Asia Melesat!

(chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts