Apes! Amerika Jumpalitan, RI Kena Sialnya

Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom senior yang juga menteri keuangan era SBY, Chatib Basri, mengungkapkan adanya dua ancaman yang lebih berat bagi Indonesia, dibandingkan soal arah kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS)

Read More

Pertama, katanya, adalah tren kenaikan imbal hasil bunga surat utang pemerintah Amerika Serikat jangka panjang yang mulai naik. Kondisi ini membebani Indonesia karena memicu outflow di pasar keuangan dalam negeri. Kondisi ini sekaligus melemah nilai tukar rupiah dan mendoron Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya ke level 6% setelah delapan bulan bertahan di level 5,75%.

Alasannya tak lain, demi mencegah selisih suku bunga tak terlalu tipis dengan AS, hingga aliran modal tak terus keluar.

“Nah, yang menarik adalah kenaikan dari bond yield ini justru terjadi karena persepsi di pasar bahwa risiko dari resesi di Amerika itu mengalami penurunan. Justru ekonomi Amerika itu strong. Karena ekonomi Amerika itu strong maka mereka kemudian mulai melakukan konsolidasi balance sheet,” kata Chatib kepada CNBC Indonesia dikutip Jumat (27/10/2023).

Kenaikan imbal hasil US Treasury tenor panjang, bersaing dengan tenor jangka pendek, membuat aliran modal dari negara-negara berkembang terus masuk ke Amerika Serikat. Kondisi ini diperburuk dengan potensi inflasi yang akan terus naik ke depan karena dampak baru perang di Timur Tengah antara Hamas dan Israel yang membuat harga minyak atau komoditas energi naik.

Masalah kedua yang tidak kalah penting adalah fenomena El Nino, atau kekeringan dan panas ekstrem yang melanda banyak negara termasuk Indonesia.

Persoalan ini memengaruhi pasokan komoditas pangan semakin sulit diperoleh karena produksi komoditas pangan utama seperti beras juga sulit diperoleh. Maka, ketika nilai tukar rupiah terus melemah dan pasokan beras harus dipenuhi dengan impor akan membuat tekanan pada neraca perdagangan maupun transaksi berjalan di tengah tingginya harga komoditas minyak mentah.

“Jadi komplikasinya agak banyak soal ini, kenapa? karena ini kejadian juga bersamaan juga dengan El Nino, di mana harga berasnya naik tuh dan berapa negara mulai membatasi ekspor. Jadi itu penting sekali untuk secure mengenai berasnya. Kalau rupiahnya melemah, di impor beras harganya juga mahal kan,” ucap Chatib.

“Kalau harga beras naik itu penduduk miskin yang paling kena. Itu kemiskinan bisa naik tuh. Kalau BBM itu konsumsi menengah atas kalau beras di penduduk miskin,” tegasnya.

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai berbaliknya arah kebijakan BI di tengah terkendalinya inflasi tersebut memang disebabkan munculnya fenomena term premia, akibat kebutuhan utang AS yang tinggi dan naiknya imbal hasil surat utang AS membuat aliran modal asing berbondong-bondong terbang ke Negeri Paman Sam.

“Kenaikan yield obligasi global tidak hanya terjadi pada obligasi jangka pendek, namun saat ini yield obligasi jangka panjang juga mengalami kenaikan atau Treasury Term Premia, karena utang pemerintah di negara maju cenderung meningkat,” kata Josua.

“Arus modal ke negara berkembang juga terhambat dan dana cenderung berpindah ke negara maju (cash is the king),” tegasnya.

Adapun, dia mengungkapkan kondisi ini pun mempengaruhi kinerja perbankan. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi 6,54% secara tahunan per September 2023 dari bulan sebelumnya 6,62% yoy. Lalu penyaluran kredit hanya tumbuh 8,96% dari sebelumnya 9,04%.

“Non-performing loan per Agustus 2023 tercatat sebesar 2,50% (gross) dan 0,79% (net). BI masih memproyeksikan pertumbuhan kredit di tahun 2023 akan berada di kisaran 9-11%,” tegas Josua.

Sementara itu, terkait dengan El Nino, Josua pernah mengungkapkan bahwa dampak El Nino itu belum dirasakan pada tahun ini. Sampai Agustus kemarin, kata dia, inflasi akibat harga bahan makanan relatif masih terkendali. Dia memprediksi inflasi kemungkinan bisa di bawah 3% sampai akhir tahun.

Josua menilai, berdasarkan kajian yang dia lakukan, puncak El Nino justru baru dirasakan pada masa 6 sampai 9 bulan setelah puncak El Nino terjadi. Artinya, dampak El Nino yang terjadi akhir tahun ini, kemungkinan akan berdampak pada inflasi yang terjadi di pertengah tahun 2024.

“Di sini ada lag time untuk penyesuaian waktu puncak El Nino kepada inflasi pangan itu sendiri,” tegas Josua.

Untuk menghadapi ini, pemerintah sudah meluncurkan BLT El Nino dan tambahan bantuan beras.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggarkan dana sebesar Rp7,52 triliun untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino bagi 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). BLT El Nino yang dikucurkan untuk membantu keluarga tidak mampu di tengah kemarau panjang ini akan dibagikan pada November hingga Desember 2023.

Sri Mulyani mengungkapkan bantuan ini akan diberikan sebesar Rp200 ribu per bulan per KPM. Dia memastikan penerimaan BLT akan tepat sasaran karena seluruh data telah terdaftar di Kementerian Sosial (Kemensos). Menurutnya, data 18,8 juta KPM sudah tersedia datanya.

“Mereka (KPM) akan mendapatkan Rp200 ribu per bulan untuk November dan Desember. Kita berikan Rp200 ribu untuk menambah daya beli mereka,” ujarnya.

Kemudian, tambahan bantuan beras akan diberikan kepada 21,3 juta kelompok penerima manfaat (KPM) sebesar 10 kg selama bulan Desember dengan total kebutuhan anggaran Rp2,67 triliun. Menurut Sri Mulyani, penyelenggaranya adalah Bapanas.

Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah guncangan global, fenomena suku bunga tinggi (higher for longer) dan perang Palestina dan Israel, pemerintah meluncurkan insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP). Insentif ini diberikan untuk pembelian rumah baru komersial.

Sri Mulyani menjelaskan, untuk dukungan rumah komersial berupa PPN DTP pembelian rumah baru seharga di bawah Rp2 miliar selama 14 bulan.

“PPN akan ditanggung pemerintah untuk penjualan rumah baru karena ini untuk menghabiskan stok yang ada, yang harganya di bawah Rp 2 miliar. Untuk periode November tahun ini sampai dengan Juni 2024, jadi ada 8 bulan, PPN yang ditanggung pemerintah adalah 100%. Artinya tidak dipungut PPN untuk pembelian rumah baru di bawah Rp 2 miliar,” jelasnya.

Dengan kebijakan ini, Sri Mulyani meyakini ekonomi Indonesia bisa bertahan dari guncangan global. Selain itu, dia berharap dengan paket kebijakan ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dijaga sebesar 5,06% pada kuartal keempat 2023.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


The Fed Akan Melunak, Mayoritas Saham Teknologi Bergairah

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts