Aturan Baru OJK Soal SBDK, Bisa Bikin Suku Bunga Bank Turun?


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Peraturan OJK (RPOJK) soal Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) akan segera terbit. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pembahasan terkait RPOJK tersebut berjalan “lancar” dengan Komisi XI DPR. Ia menyebut secara keseluruhan rancangan tersebut sudah disetujui.

Dian mengatakan OJK melalui RPOJK tersebut mendorong persaingan suku bunga perbankan yang sehat melalui mekanisme pasar dengan kebijakan standarisasi komponen pada laporan keuangan sebagai pembentuk SBDK dan meminta bank untuk mentransparansikannya.

“Hal ini mengingat masyarakat memiliki informasi yang objektif dan memadai untuk dapat memilih penawaran suku bunga yang paling kompetitif,” ujar Dian dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/3/2024).

Sementara itu, margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) industri perbankan Indonesia masih tinggi. Data OJK memaparkan NIM perbankan sebesar 4,54% per Januari 2024. Posisi itu turun sedikit dari sebulan sebelumnya 4,81%.

Sebagai informasi, NIM digunakan untuk mengukur perbedaan antara pendapatan bunga yang diterima bank dan bunga yang dibayarkan ke pemberi pinjaman. NIM dipakai untuk menakar tingkat profitabilitas bank. Umumnya, NIM yang lebar mengindikasikan laba yang tinggi untuk bank.

Secara garis besar, terdapat beberapa faktor turut membentuk NIM bank, mulai faktor internal (manajemen), hingga faktor eksternal seperti iklim industri (konsentrasi pasar) dan faktor makro (misal, tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi).

NIM perbankan RI yang lebih tinggi dibandingkan negara lainnya bisa disebabkan oleh kondisi pasar yang kurang efisien dan kurang kompetitif. Bahkan, Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyorot tingginya NIM perbankan RI menunjukkan industri cenderung “oligopolis”.

Lantas, apakah RPOJK tersebut dapat efektif menurunkan suku bunga bank di Indonesia guna mendorong kompetisi yang sehat? Bankir dan pengamat pun memberikan pendapatnya.

Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia (DNAR) Efdinal Alamsyah mengatakan SBDK adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah.

SBDK merupakan hasil perhitungan dari 3 komponen yaitu cost of fund, biaya overhead cost, dan profit margin yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan.

“Perhitungan SBDK belum memperhitungkan komponen risk premium individual nasabah yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Jadi, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK,” jelasnya ketika dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2024).

Efdinal melanjutkan, pemberian bunga kepada semua nasabah tidak akan sama dengan SBDK. Hal ini akan tergantung kepada tingkat risiko masing-masing nasabah.

“Jika tingkat risiko seorang nasabah rendah, bisa saja sama dengan SBDK, akan tetapi jika tingkat risiko nasabah tersebut dianggap tinggi, bisa saja lebih tinggi dari SBDK,” katanya.

Menurutnya, RPOJK tidak akan jauh berbeda dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal SBDK. Perbedaannya, RPOJK nanti akan menyertakan informasi mengenai overhead cost dan cost of fund dari masing-masing bank.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah merasa tidak yakin RPOJK SBDK itu akan efektif menurunkan suku bunga bank. Meskipun, peraturan itu bagus untuk mendorong transparansi komponen suku bunga bank RI, yang tidak diterapkan oleh perbankan di berbagai negara lain.

Piter menyorot industri perbankan di berbagai negara lain tidak ada kewajiban transparansi suku bunga, tetapi, suku bunga mereka rendah.

“Sebaiknya kita sudah sejak lama memiliki regulasi SBDK. Tapi suku bunga bank tidak banyak berubah,” katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2024).

Ia kemudian menyebut kondisi NIM perbankan Indonesia yang tinggi justru disebabkan oleh tidak adanya persaingan.

“Kebijakan memang dibutuhkan tapi kebijakan yang mana. Harus dikaji secara benar apa yang sebenarnya menyebabkan perilaku pembentukan suku bunga di Indonesia tidak sama dengan di negara lain,” ujar Piter.

Selaras, Pengamat Perbankan & Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengingatkan bahwa kewajiban publikasi SBDK di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, karena sejak 2012, BI sudah mewajibkan sebagai bagian dari transparansi bank atas suku bunga kredit.

“Yang membedakan dengan rencana OJK menerbitkan POJK SBDK tahun 2024 ini adalah terkait jenis kredit nya (seluruh jenis kredit), frekuensi publikasi (menjadi real time), metode publikasi (ditambahkan melalui website OJK), dan sanksi (sama dengan pencabutan ijin usaha),” jelas Arianto saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2024).

Tentunya, kata dia, pengaturan ini tidak serta merta efektif langsung menurunkan suku bunga kredit. Namun dampak tidak langsungnya bisa menuju kesana.

Arianto menguraikan, dampak langsung dari RPOJK ini adalah meningkatnya transparansi sebagai bahan pertimbangan nasabah/calon debitur, ⁠meningkatkan kompetisi yang mendorong pelaku berlomba memberikan rate terbaik di pasar, dan ⁠meningkatkan efisiensi yakni konsekuensi jika akan kompetitif maka harus efisien.

“Sisi lain dengan publikasi pada situs OJK maka akan memudahkan pengawasan OJK, sekaligus meningkatkan peran OJK dalam menumbuhkan literasi keuangan masyarakat,” jelasnya.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Bocoran POJK Baru, Bank Tanggung 25% Risiko Asuransi Kredit

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts