Diusir Sukarno dari RI, Orang Ini Malah Jadi Raja Hotel Mewah Dunia


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Adrian Willem BanKwieLauw-Zecha alias Adrian Zecha lahir dan tumbuh besar dari keluarga keturunan China terhormat dan kaya raya di Indonesia. 

Mely Tan dalam The Chinese of Sukabumi (1963) menyebut, keluarganya dikenal sebagai ‘cabang atas’ yang merujuk pada keluarga Tionghoa tajir melintir dan sukses di Indonesia.

Bapaknya, William Lauw-Zecha, adalah orang Indonesia pertama yang lulus dari Lowa University, AS, pada 1923. Sedangkan, saudara-saudaranya sukses menempati jabatan tertinggi di pemerintahan masa kolonial. Dari keistimewaan itu tak heran kalau Adrian mendapat banyak kemudahan.

Namun keberuntungan pria asalSukabumi, Jawa Baratkelharian 1933 itu tidak berlangsung lama. Pada 1956–1957 Sukarno melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia. Nasionalisasi itu dibarengi pula oleh meningkatkan sentimen terhadap warga non-Indonesia. Akibatnya bisnis keluarga Zecha terpaksa diambil negara. Mereka sekeluarga juga harus angkat kaki dan bermukim di Singapura.

Beruntung, pada kejadian itu Adrian masih berada di AS karena dia lanjut kerja sebagai jurnalis di Time. Ya, jauh sebelum bisnis hotel pada 1988, Adrian menjalani karir sebagai jurnalis wisata di berbagai media.

Menjadi jurnalis wisata membuatnya bisa berkeliling dunia, dari satu tempat wisata ke tempat lain. Karena inilah minatnya tumbuh di bidang wisata dan perhotelan. Martin Roll dalam Asian Brand Strategy (2015) memaparkan persentuhan pertama Adrian dengan bisnis hotel terjadi pada 1972. Saat itu dia turut membangun Regent International Hotels sebelum akhirnya mendirikan hotel sendiri pada 1988.

Cerita pendirian hotel sendiri olehnya pun terbilang menarik. Pendirian itu disebabkan karena Adrian tidak suka dengan konsep hotel saat itu di dunia, yang menawarkan ruangan besar dengan tingkat kelas berbeda. Baginya, konsep seperti ini mengharuskan hotel berdiri dengan bangunan besar dan menutupi keindahan lokasi wisatanya.

Alhasil, dia ingin membangun hotel berkonsep berbeda: eksklusif dan kecil, hanya ada 50 kamar saja. Bentuk yang kecil ini membuat lokasi wisata di daerah terpencil bisa memiliki hotel.

Wujud nyata dari konsep ini dilakukan di Phuket, Thailand. Dia bersama temannya, Anil Thadani, patungan dan membangun hotel disana dengan biaya US$ 4 juta.

Pada Desember 1987, hotel itu selesai dibangun dan diberi nama Amanpuri. Sesuai namanya “Aman” diambil dari Bahasa Sansakerta, berarti “Damai”. Dia ingin hotel yang dibangunnya memberi rasa damai kepada para pengunjung.

Berdasarkan filosofi pendiriannya, Amanpuri memiliki kurang dari 50 kamar yang bertujuan untuk menjaga eksklusif pada para pengunjung. Jadi, makin sedikit kamar yang ada, Adrian memang pelayanan yang diberikan akan maksimal, sehingga akan menyenangkan pengunjung. Ini berbeda dengan hotel lain yang kurang memperhatikan pelayanan jumlah kamar yang banyak.

Masih mengutip Asian Brand Strategy (2015), dengan strategi seperti itu, Adrian dan Aman sukses memberikan pengalaman berbeda kepada tamu, yang membuatnya makin terkenal. Selain karena itu, kesuksesan ini disebabkan oleh kepiawaian Aman yang mampu mencari lokasi di tempat wisata terpencil.

Jadi, begitu ada lokasi wisata terpencil, Adrian langsung memilih dan mendirikan Aman.

Kini, Hotel Aman telah menjelma jadi salah satu perusahaan perhotelan terbesar di dunia. Jika Anda melihat nama hotel memiliki nama depan “Aman”, seperti Amanjiwo, Amanpuri, Amankila, dan lainnya, maka itu berada di bawah naungan Aman Group yang didirikan pria asal Sukabumi itu.

Kini perusahaan Aman sudah beroperasi di 20 negara dan dipimpin oleh warga Rusia bernama Vladislav Doronin. 

[Gambas:Video CNBC]

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts