Gegara The Fed & Krisis Bank, Wall Street Dibuka Lesu Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street dibuka kembali melemah pada perdagangan Kamis (4/5/2023), di mana investor masih dikhawatirkan dengan krisis perbankan di AS yang masih jauh dari kata usai.

Read More

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dibuka melemah 0,21% ke posisi 33.344,641, S&P 500 terkoreksi 0,23% ke 4.081,2, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,25% menjadi 11.995,84.

Saham PacWest merosot lebih dari 35%. Penurunan terjadi setelah adanya kabar bahwa bank yang berbasis di California tersebut telah menilai opsi strategis, termasuk kemungkinan melakukan penjualan.

Saham bank regional lainnya juga terpantau lesu, seperti saham Western Alliance yang anjlok 19,2% dan saham Zions Bancorporation ambruk 11,3%.

“Kemungkinan krisis perbankan tidak akan membaik sampai The Fed memangkas suku bunga,” kata Jeffrey Gundlach, CEO DoubleLine, dikutip dari CNBC International.

Sejak jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret lalu, tak sedikit bank yang terdampak, di mana First Republic Bank menjadi salah satunya. Baru-baru ini, First Republic Bank resmi diambil alih oleh JPMorgan Chase.

“Meninggalkan suku bunga setinggi ini akan melanjutkan tekanan di sektor ini. Kami percaya dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi akan, ada kegagalan bank regional berikutnya dan inilah yang dikhawatirkan oleh banyak orang,” tambah Gundlach.

Krisis perbankan yang melanda AS pada Maret lalu juga disebabkan karena ketatnya suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp), sesuai dengan ekspektasi pasar.

Dengan ini, maka The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak sepuluh kali dan dilakukan secara beruntun sejak Maret tahun lalu demi menjinakkan inflasi yang sudah melambung cukup tinggi.

Bahkan, suku bunga The Fed saat ini menjadi yang tertinggi sejak 2006 atau 12 tahun terakhir.

Meski kenaikannya sudah sesuai dengan ekspektasi, tetapi investor tetap kecewa dengan pernyataan The Fed, di mana mereka mengatakan bahwa masih terlalu dini menganggap siklus kenaikan suku bunga telah berakhir.

The Fed juga belum mengisyaratkan akan segera melunak dengan memangkas suku bunga. Namun, Chairman The Fed, Jerome Powell mengisyaratkan akan mengakhiri kenaikan suku bunga.

“Kami di komite berpandangan bahwa inflasi tidak akan turun secepat itu. Ini akan memakan waktu, jika ramalan itu benar. Tetapi dalam waktu dekat kami tidak akan memangkas suku bunga,” ujar Powell.

Di lain sisi, data tenaga kerja menunjukkan ada tanda-tanda memburuk, di mana Klaim pengangguran mencapai 242.000 untuk pekan yang berakhir 29 April, lebih tinggi dari perkiraan 236.000 dari Dow Jones.

Produktivitas pekerja pada kuartal pertama 2023 juga turun 2,7% terhadap perkiraan penurunan 1,9%. Sedangkan biaya tenaga kerja per unit meningkat 6,3% di kuartal I-2023, lebih tinggi dari ekspektasi 5,5%.

Namun, data tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cenderung bervariasi, membuat pelaku pasar di AS seakan dibuat bingung dan berpikir apakah The Fed akan benar-benar melanjutkan sikap hawkish-nya atau justru mulai melunak.

Data klaim pengangguran berbanding terbalik dengan data perekrutan perusahaan swasta di AS menurut ADP yang meningkat cukup signifikan.

Data tersebut melonjak menjadi 296.000 pekerjaan, dari sebelumnya pada Maret yang sebesar 142.000 pekerjaan. Angka tersebut juga lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang sebesar 140.000 pekerjaan.

Meski begitu, investor menanti data tenaga kerja lainnya yang cenderung sangat penting untuk menentukan arah sikap The Fed berikutnya. Data tersebut yakni laporan penggajian non-pertanian (non-farm payroll/NFP) periode April yang akan dirilis pada Jumat pagi waktu AS.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Inflasi Kembali Melandai, Wall Street Dibuka Happy!

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts