‘Hantu’ Resesi Bendung Kenaikan Harga Minyak Mentah

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak mentah menguat pekan ini, tetapi penguatan tersebut tertahan akibat resesi yang kembali menghantui. Isu resesi memang sudah berhembus jauh-jauh hari, tetapi yang ditakutkan jika terjadi dalam waktu yang panjang dan dalam.

Read More

Minyak mentah menjadi salah satu komoditas yang sensitif terhadap kondisi ekonomi global. Sebab, permintaan sangat tergantung dengan aktivitas bisnis, juga pergerakan masyarakat. Saat resesi terjadi, semua itu akan mengalami penurunan.

Melansir data Refinitiv, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dalam sepekan tercatat menguat 4,6% ke US$ 74,29/barel setelah sebelumnya sempat menyentuh US$ 77,77/barel. Sementara itu, minyak Brent naik 3,9% ke US$ 79.04/barel setelah sempat menyentuh US$ 83,18/barel.


Dalam 5 hari perdagangan, harga minyak mentah naik 3 hari beruntun, sebelum terpangkas dua hari terakhir.

Kenaikan tersebut dipicu rilis data inflasi di Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan pelambatan.

Inflasi dilaporkan tumbuh sebesar 7,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada November 2022.

Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS, Selasa (13/12/2022), inflasi tersebut turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 7,7% yoy. Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.

Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi terakhir yang dirilis sebesar 7,3% yoy.

Rilis tersebut memunculkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan mengurangi agresivitasnya dalam menaikkan suku bunga.

Ekspektasi tersebut menjadi kenyataan, tetapi tidak merubah outlook ke depannya.

The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% – 4,5%. Kenaikan tersebut lebih kecil setelah sebelumnya menaikkan sebesar 75 basis poin 4 kali beruntun.

Namun, ketua The Fed Jerome Powell, menyatakan data tersebut belum cukup meyakinkan untuk merubah pandangan The Fed terkait inflasi.

“Data inflasi yang kami terima pada Oktober dan November menunjukkan laju kenaikan harga yang mulai melandai. Tetapi membutuhkan lebih banyak bukti agar yakin inflasi secara substansial sudah mulai pada jalur penurunan,” kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (15/12/2022).

The Fed pun tetap pada jalurnya menaikkan suku bunga hingga mencapai 5% – 5,25%. Bahkan, suku bunga tinggi akan ditahan hingga 2024. Risiko resesi pun makin nyata, bahkan ada risiko cukup dalam.

Tidak hanya di Amerika Serikat, Eropa juga akan mengalaminya sebab suku bunga juga dinaikkan dengan agresif. Sama dengan The Fed, bank sentral Eropa (ECB) dan Inggris (BoE) juga menaikkan suku bunga 50 basis poin Kamis lalu, begitu juga dengan bank sentral Swiss (SNB).

Eropa diperkirakan akan mengalami resesi di kuartal I-2023, berdasarkan hasil survei terbaru Reuters ke para ekonom. Artinya dalam dua bulan ke depan, Eropa mulai memasuki resesi jika prediksi tersebut benar.

Median hasil survei tersebut menunjukkan kemungkinan resesi terjadi di zona euro sebesar 78%, naik dari survei Oktober lalu sebesar 70%.

Ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di juga di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.

“Kabar buruknya di 2023, proses pengetatan moneter akan menunjukkan dampaknya ke ekonomi,” kata ekonom Bank of America, Savita Subramanian, sebagaimana dilansir Business Insider, akhir November lalu.

Sementara itu investor ternama, Michael Burry, memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi selama beberapa tahun.

“Strategi apa yang bisa mengeluarkan kita dari resesi? Kekuatan apa yang bisa membawa kita keluar? Tidak ada. Kita akan mengalami resesi bertahun-tahun,” kata Burry dalam cuitannya di Twitter, sebagaimana dilansir Business Insider.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Breaking News: Harga Minyak Mentah Ambrol 2%!

(pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts