Harga Minyak Dunia Loyo, Permintaan Terus Melambat


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak mentah terpantau melemah pada perdagangan Senin (11/3/2024), melanjutkan koreksinya sejak perdagangan akhir pekan lalu karena pasar masih gelisah atas melambatnya permintaan dan sebagian besar sudah melewati prospek pasokan yang lebih ketat pada tahun 2024.

Per pukul 10:57 WIB, harga minyak mentah jenis Brent melemah 0,66% ke posisi harga US$ 81,54 per barel, sedangkan untuk jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) terkoreksi 0,72% menjadi US$ 77,44 per barel.


Data inflasi yang tidak terlalu besar dari China menambah kekhawatiran atas melambatnya permintaan di negara importir minyak terbesar dunia tersebut, terutama karena data impor minyak untuk dua bulan pertama tahun 2024 sebagian besar mengecewakan.

Data yang dirilis pada akhir pekan lalu menunjukkan inflasi konsumen (consumer price index/CPI) China sedikit meningkat pada Februari lalu, yakni naik menjadi 0,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan tumbuh 1% secara bulanan (month-to-month/mtm), dari sebelumnya pada Januari lalu yang kontraksi 0,8% (yoy) dan tumbuh 0,3% (mtm).

Kenaikan sedikit inflasi China pada bulan lalu diuntungkan oleh peningkatan belanja selama liburan Tahun Baru Imlek.

Namun, indeks harga produsen (producer price index/PPI) China menyusut lebih besar dari perkiraan selama periode tersebut, alias PPI China masih mengalami deflasi yakni menjadi kontraksi 2,7% pada Februari lalu, menandakan bahwa penggerak ekonomi terbesar China sebagian besar masih berada di bawah tekanan.

Pembacaan tersebut mengikuti data impor yang cenderung membaik dari China pada pekan lalu. China mengimpor 10,74 juta barel per hari pada periode Januari-Februari, naik 3,3% dibandingkan tahun lalu, namun turun dari 11,39 juta barel per hari pada Desember 2023, data pemerintah menunjukkan.

China juga menetapkan target produk domestik bruto (PDB) yang mengecewakan pada tahun 2024, dan sejauh ini hanya memberikan sedikit petunjuk mengenai langkah-langkah stimulus yang direncanakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Kekhawatiran akan lemahnya permintaan diperburuk oleh ketidakpastian yang terus-menerus mengenai jalur suku bunga AS, karena data non-farm payrolls (NFP) pada Jumat lalu menunjukkan bahwa lapangan kerja AS sebagian besar masih tangguh.

Di lain sisi, kekhawatiran atas lesunya permintaan sebagian besar mengimbangi ekspektasi pasar akan berkurangnya pasokan tahun ini, bahkan setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC+) mengatakan akan mempertahankan laju pengurangan produksi saat ini.

Gangguan di Timur Tengah juga diperkirakan akan terus berlanjut, seiring gagalnya perundingan mengenai gencatan senjata Israel-Hamas.

Pasar kini fokus pada data utama CPI AS yang akan dirilis pada Selasa waktu setempat, untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai jalur suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Pejabat The Fed telah memperingatkan pekan lalu bahwa inflasi akan sangat menentukan kapan bank sentral mulai memangkas suku bunga pada tahun 2024.

Peringatan tersebut, ditambah dengan data NFP yang lebih kuat dari perkiraan pada Februari, membuat pasar tetap berada di ambang kenaikan yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.

Pembacaan CPI pada Selasa besok diperkirakan menunjukkan bahwa inflasi masih jauh di atas target tahunan The Fed sebesar 2%, sehingga memberikan sedikit dorongan bagi bank sentral Negara Adidaya tersebut untuk menurunkan suku bunga.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Efek Konflik Timur Tengah Mereda, Harga Minyak Kembali Turun

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts