Inflasi AS Kembali Naik, Tapi Wall Street Tetap Dibuka Cerah


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kembali dibuka menguat pada perdagangan Kamis (11/1/2024), setelah dirilisnya data inflasi terbaru AS periode Desember 2023 yang kembali mengalami kenaikan.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dibuka menguat 0,25% ke posisi 37.789,16, S&P 500 bertambah 0,22% ke 4.794,16, dan Nasdaq Composite terapresiasi 0,31% menjadi 15.016,46.

Menguatnya Wall Street pada pembukaan perdagangan hari ini terjadi setelah dirilisnya data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.

CPI AS pada akhir 2023 naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023. Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.

Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan CPI AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm).

Namun untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif juga cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%.

Kenaikan CPI AS terjadi karena adanya seasonality natal dan tahun baru. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Namun, inflasi di negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini telah turun tajam sejak mencapai puncaknya sebesar 9,1% pada Juni 2022, ketika perang di Ukraina menyebabkan biaya energi melonjak.

The Fed menanggapinya dengan menaikkan biaya pinjaman secara signifikan untuk mendinginkan perekonomian dan mengurangi tekanan harga.

Pada bulan lalu mereka menyatakan kemungkinan telah selesai menaikkan suku bunga, sehingga memicu perdebatan mengenai kapan mereka akan mulai menurunkan suku bunga acuannya.

Ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret mendatang mulai kembali naik, meski masih lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.

Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) naik menjadi 67,1%, masih lebih rendah dari peluang sebesar 79% pada pekan lalu.

Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali meningkat setelah dirilisnya data inflasi konsumen pada akhir 2023. Yield US Treasury tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi pemerintah AS naik 3 bp menjadi 4,064.

Di lain sisi, investor juga terus bersiap menjelang perilisan kinerja keuangan emiten AS pada tahun 2023. Pada Jumat besok, beberapa raksasa bank AS akan merilis kinerja keuangannya seperti JPMorgan Chase dan Bank of Amerika.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Wall Street Dibuka Lesu Lagi, Reli Sudah Berakhir?

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts