Kinerja Emiten GT Man Tidak Anti Selip, Rugi dan Utang Numpuk

Jakarta, CNBC IndonesiaPT Ricky Putra Globalindo Tbk. (RICY) adalah sebuah perusahaan tekstil dan garmen yang dikenal oleh banyak pria melalui produk celana dalam merek GT Man. Namun, industri tekstil secara umum mengalami masa-masa sulit selama pandemi COVID-19. Meskipun demikian, RICY mampu bertahan berkat penambahan utang yang dilakukannya.

Read More

Permasalahan yang dihadapi RICY adalah bagaimana perusahaan akan terus menambah pembiyaan ke depan seiring tingkat utang yang membludak. Industri tekstil memerlukan manajemen arus kas yang baik karena bisnisnya memiliki margin tipis dan seringkali mengalami penundaan dalam penerimaan piutang.

Selama pandemi, permintaan akan produk tekstil dan garmen menurun karena banyak orang lebih banyak berada di rumah dan tidak berbelanja pakaian. Ini menyebabkan penurunan kinerja RICY dalam tiga tahun terakhir, dengan pendapatan yang menurun berada di kisaran Rp 1,2-1,4 triliun.

Penurunan laba bersih RICY disebabkan oleh kombinasi dari penurunan permintaan dan kenaikan harga kapas. Hal ini mengakibatkan laba bersih yang terakumulasi selama 2011-2022 atau saldo laba menjadi negatif sebesar Rp 92 miliar.

Perusahaan mencatat laba bersih positif pada kuartal-I 2023 berkat keuntungan dari selisih kurs sebesar Rp 21 miliar. Namun, keuntungan ini tidak dapat dianggap sebagai kinerja operasional perusahaan dan RICY berpotensi kembali merugi di kuartal-kuartal berikutnya jika tidak ada perbaikan kinerja yang signifikan.

Jika kerugian ini terus berlanjut, maka ekuitas perusahaan berisiko menjadi negatif.

Adapun utang RICY terus meningkat selama 11 tahun terakhir, sedangkan modalnya menurun. Hal ini menyebabkan rasio utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER) perseroan mencapai 5,7, yang mengindikasikan utang perusahaan lebih besar daripada modalnya sebesar 5,7 kali lipat. Tingginya utang ini membatasi kemampuan RICY untuk mengembangkan bisnisnya menggunakan modal sendiri.

Kondisi arus kas RICY tidak konsisten karena tidak memperhitungkan beban keuangan dari utang yang terus bertambah. Selama 11 tahun terakhir, akumulasi Free Cash Flow (FCF) RICY mencapai nilai negatif Rp 76 miliar, sementara arus kas operasional mencapai Rp 470 miliar. Ini berarti sebagian besar kas yang diperoleh dari operasional harus digunakan untuk membayar utang dan pengembangan usaha.

Piutang usaha RICY terus bertumbuh mencapai Rp 426 miliar atau setara 29% dari total aset. Tingginya piutang usaha ini meningkatkan risiko likuiditas perusahaan karena sulit untuk menagih pembayaran dari pelanggan, terutama saat permintaan menurun.

Dengan kondisi keuangan yang sulit, pertanyaannya adalah apakah investasi di RICY masih layak dilakukan. Kinerja perusahaan yang belum menunjukkan perbaikan pasca pandemi dan kerugian yang signifikan dalam tiga tahun terakhir menjadi risiko bagi calon investor.

Selain RICY, banyak perusahaan tekstil lainnya, seperti Sritex dan Duniatex, juga mengalami kesulitan dan terancam bangkrut. Pan Brothers merupakan salah satu perusahaan tekstil yang bertahan dengan menambah modal.

Secara keseluruhan, industri tekstil mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19, dan RICY harus mencari cara untuk mengatasi tantangan keuangan yang dihadapinya jika ingin bertahan dan berkembang di masa depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ini Daftar Masalah Tupperware Hingga Kini Tunjuk Penasihat

(mza/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts