Menanti Sabda Powell, Akankan Rupiah Bangkit?


Jakarta, CNBC Indonesia – Dolar Amerika Serikat (AS) masih perkasa menekan rupiah. Sejauh ini pergerakan mata uang Garuda masih rawan begerak fluktuatif lantaran banyak ketidakpastian eksternal, terutama dari potensi sikap bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang masih lanjut hawkish.

Read More

Melansir dari Refinitiv, rupiah berakhir melemah 0,19% menuju posisi Rp15.765/US$ pada perdagangan kemarin, Selasa (5/3/2024). Depresiasi ini menjadikan rupiah bertengger di posisi terlemah sejak 31 Januari 2024.


Beralih pada hari ini, Rabu (6/3/2024) tampaknya rupiah masih akan bergerak volatile lantaran sikap pasar masih wait and see akibat berbagai sentimen seperti menanti rilis data ekonomi AS dan pidato chairman the Fed, Jerome Powell yang kemungkinan membahas kisi-kisi kapan suku bunga bakal diturunkan.

Malam nanti akan rilis data yang bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan suku bunga The Fed, yakni data pembukaan lowongan baru.

Berdasarkan konsensus Trading Economics pembukaan lowongan pekerjaan pada Januari akan melandai ke 8,9 juta dari 9,03 juta.

Mengenai data pekerjaan juga akan dipublikasikan data non-farm payrolls yang diperkirakan akan turun ke 200.000 pada Februari dari sebelumnya 353.000.

Pada saat yang bersamaan, akan ada testimoni Jerome Powell, ketua The Fed, yang mungkin akan memberikan kisi-kisi mengenai cut rate.

Sejauh ini The Fed masih konsisten dengan suku bunganya yang berada di level 5,25-5,5%. Para pengambil kebijakan di The Fed menilai bahwa tingkat suku bunga kebijakan kemungkinan besar akan berada pada titik puncaknya dalam siklus pengetatan ini.

Suku bunga yang ditahan di level tinggi ini salah satunya disebabkan karena inflasi AS yang masih berada di angka 3,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) atau di atas ekspektasi pasar di angka 2,9% yoy serta di atas target The Fed sendiri di level 2%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga menyampaikan bahwa untuk beberapa saat ke depan, dolar akan menguat, tetapi kita akan melihat bahwa dolar akan melemah pada semester kedua seiring dengan perubahan arah kebijakan The Fed.

Perry mengatakan, Fed Fund Rate atau FFR yang saat ini di kisaran 5,25%-5,5% akan turun sebesar 75 basis points (bps) pada semester II-2024. Dengan demikian, kebijakannya akan lebih dovish saat itu.

Beralih ke Asia, pada pekan ini, China akan merilis data laju CPI baik secara tahunan dan bulanan.

Sebelumnya pada Januari 2024 tercatat China berada dalam kondisi deflasi 0,8% yoy atau penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir dan lebih buruk dari perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 0,5%.

Data ini adalah penurunan CPI selama empat bulan berturut-turut, penurunan terpanjang sejak Oktober 2009.

Namun hingga kini konsensus memperkirakan bahwa CPI China akan naik dan inflasi terjadi ke level 0,4%.

Jika hal ini terjadi, maka indikasi bahwa roda perekonomian China mulai bergerak dan dapat berdampak baik bagi negara yang menjadi mitra dagangnya, salah satunya Indonesia.

Teknikal Rupiah

Tren pelemahan rupiah dalam basis waktu per jam masih terbilang kokoh, paling dekat rupiah rawan menguji pelemahan lanjutan ke resistance di level psikologis Rp15.800/US$, posisi ini sekaligus bertepatan dengan garis horizontal berdasarkan high candle intraday pada 1 Februari 2024 lalu.

Kendati begitu, jika ada pembalikan arah pelaku pasar bisa mencermati support atau potensi penguatan terdekat ke Rp15.730/US$. Posis ini bertepatan dangan garis rata-rata selama 50 jam atau moving average/MA 50.




Foto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS dalam basis waktu per jam

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Jelang Rilis Suku Bunga BI, Mampukah Rupiah Libas Dolar AS?

(tsn/tsn)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts