Nasib Rupiah, Bursa & BI Rate Setelah Prabowo Ungguli Anies & Ganjar


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Pelaku pasar tengah menanti hasil perhitungan resmi setelah quick count menunjukkan melaporkan dominasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dengan suara rata-rata 58%. Komite Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan perhitungan final pada 20 Maret 2024.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengungkapkan reaksi pasar keuangan domestik terhadap hasil sementara Pemilu beragam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, sementara rupiah masih melemah.

“Dengan perkembangan seputar pemilu 2024, IHSG menguat di Wall Street semalam setelah laporan pendapatan yang solid di Amerika Serikat meredakan kekhawatiran terhadap berlanjutnya inflasi di negara tersebut. IHSG naik 2,2%, terbesar sejak 22 Mei,” kata Andry, Kamis (15/2/2024).

Andry meyakini kemenangan cepat bagi Prabowo kemungkinan besar akan menghilangkan ketidakpastian akibat pemilu yang panjang, dan berpotensi menarik lebih banyak arus masuk asing ke saham dan obligasi Indonesia.

Pasalnya, kandidat yang menang telah berjanji untuk mengubah Indonesia menjadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi pada tahun 2045, dengan alasan pembangunan infrastruktur dan peningkatan pemanfaatan sumber daya alam negara yang sangat besar.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah masih melemah dan imbal hasil obligasi relatif stabil. Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral AS.

Andry menilai kebijakan Federal Reserve (the Fed) mempertahankan kisaran target Fed Funds Rate pada 5,25% – 5,5% pada pertemuan 24 Januari, mencerminkan fokus ganda para pengambil kebijakan di AS dalam mengembalikan inflasi ke target 2% sambil menghindari pengetatan moneter yang berlebihan.

Alhasil, kondisi ini membuat rupiah masih melemah dan bergerak pada kisaran Rp 15.575 – Rp 15.650 per dolar AS pasca Pemilu.

“Kepastian mengenai penentuan waktu suku bunga The Fed dan imbal hasil obligasi masih akan menjadi faktor penting bagi rupiah,” katanya.

Lebih lanjut, imbal hasil obligasi dalam negeri Indonesia tenor 10 tahun saat ini masih berada di angka 6,63%. Andry mengungkapkan pasar uang masih dipengaruhi oleh tekanan eksternal dan menunggu hasil real count pemilu.

Dengan masih kuatnya perkembangan ekonomi Amerika dan laju inflasi yang belum mencapai target 2%, maka pelaku pasar masih akan menghadapi era tingginya suku bunga dalam beberapa waktu ke depan.

“Sementara itu, kami memperkirakan BI Rate akan dipertahankan pada level 6,00% pada 1H 2024 dan baru mulai turun pada 2H 2024, sejalan dengan bauran kebijakan moneter yang diterapkan BI untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dan menarik aliran modal,” katanya.

Untuk kebijakan fiskal, Andry mengungkapkan fokus utama tetap pada bagaimana pemerintah dapat menjaga defisit fiskal di bawah 2,3% terhadap PDB, serta memastikan penerbitan utang tetap terkendali dan menurunkan risiko pasokan di pasar obligasi.

Dengan demikian, Andry memperkirakan tingkat suku bunga The Fed telah mencapai tingkat akhir pada tahun ini. Dia yakin potensi aliran modal kembali ke pasar domestik terbuka lebar.

“Kami juga memperkirakan rupiah dapat kembali ke kisaran Rp 15.400 – Rp 15.500 per dolar AS dan imbal hasil obligasi acuan dalam negeri pada kisaran 6,3 – 6,5% pada akhir tahun 2024,” katanya.

Ekonom Bank Danamon Indonesia Irman Faiz mengungkapkan jika hasil penghitungan resmi sesuai dengan quick count, pemilihan putaran kedua tidak diperlukan lagi. Hal ini akan membantu meminimalkan ketidakpastian politik dan menjaga stabilitas rupiah.

“Dengan surplus perdagangan yang berkelanjutan dan inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah akan memiliki ruang untuk terapresiasi melampaui tingkat saat ini. Perhitungan kami menunjukkan bahwa rupiah kemungkinan akan rata-rata berada pada Rp 14,901 per dolar AS sepanjang tahun,” ujarnya.

Kombinasi kondisi politik yang lebih pasti dan fundamental rupiah yang kuat dapat memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 50 basis poin (bps) pada paruh kedua tahun 2024.

“Namun, kami mengakui bahwa ketidakpastian seputar poros kebijakan The Fed mengaburkan prospek rupiah. Data pasar tenaga kerja dan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan bertentangan dengan ekspektasi pasar mengenai penurunan FFR pada semester ini,” ujarnya.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


BI Tahan Suku Bunga Acuan 6%, Ini Alasan Lengkapnya!

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts