Orang China Mendadak Irit Belanja dan Banyak Nabung, Krisis?

Jakarta, CNBC Indonesia – Ketimbang banyak berbelanja setelah pelonggaran pembatasan pasca pandemi, penduduk China ternyata lebih banyak menyimpan gaji mereka daripada yang dilakukannya selama pandemi.

Read More

Menurut analis, ini adalah hasil dari model pertumbuhan ekonomi China sejak 1980-an yang banyak dikatakan terlalu bergantung pada investasi properti, infrastruktur, dan industri dan tidak cukup memberdayakan konsumen untuk mendapatkan dan membeli lebih banyak.

Pertumbuhan yang merosot, akan membuat rumah tangga perlu keputusan sulit. Warga China pun akan semakin terpaksa untuk menyimpan persediaan kebutuhan pokok, dari pada belanja bahan konsumsi lainnya.

Ekonom menilai, peningkatan bagian pendapatan nasional rumah tangga akan menyebabkan penurunan bagian sektor lain, baik bisnis – terutama industri-industri besar China – atau sektor pemerintah.

“Pemangkasan mereka akan membuat resesi tidak dapat dihindari,” kata Juan Orts, ekonom China di Fathom Consulting, dikutip dari Reuters, pada Selasa, (29/8/2023).

Orts melihat China tengah menuju “Jepangisasi,” yang merujuk pada “dekade yang hilang” stagnasi ekonomi Tokyo sejak tahun 1990-an.

Hal ini diperparah pasar tenaga kerja China lemah, dengan pengangguran pemuda mencapai rekor tertinggi di atas 21%. Sektor swasta, yang bertanggung jawab atas 80% dari lapangan kerja masih merangkak pulih dan menyesuaikan penindakan regulasi terhadap teknologi dan industri lainnya.

Hal ini menciptakan ‘kepanikan’ dari pemerintah. Regulator China telah berjanji untuk meningkatkan kredit kepada perusahaan, tetapi bisnis pada akhirnya dibatasi oleh permintaan domestik yang rapuh.

Atas hal ini, banyak ekonom telah menyerukan agar China meningkatkan jaringan pengaman sosialnya untuk meningkatkan tingkat konsumsi warganya. Di Beijing, misalnya telah menyediakan tunjangan pengangguran selama tiga hingga 24 bulan bernilai hingga 2.233 yuan per bulan.

Hal ini diperlukan karena ketidakpastian keuangan juga menghalangi para warga negeri tirai bambu ini untuk memiliki anak. Populasi China semakin menua dan menyusut, terutama pada kelompok usia 20-40 tahun, di mana orang biasanya mencapai puncak konsumsi seumur hidup.

Cari Solusi

Selama sebulan terakhir, pemerintah China telah mengumumkan puluhan langkah untuk meningkatkan konsumsi, termasuk berdiskusi di pertemuan penting Partai Komunis.

Adapun gagasan yang muncul termasuk subsidi mobil dan peralatan rumah tangga, memperpanjang jam buka restoran, dan mempromosikan pariwisata dan kegiatan hiburan.

Tetapi orang-orang tampaknya tidak antusias dengan itu. Sama halnya dengan para pelaku bisnis.

“Kami belum benar-benar melihat apa pun dalam hal benar-benar mendorong permintaan, itu akan lebih penting daripada mendukung sisi pasokan.” kata Jens Eskelund, Presiden Kamar Dagang Eropa di China.

Salah satu cerita dari Wang Jiliu, 45 tahun, pemilik bisnis katering di pulau Hainan, Tiongkok, mengatakan pendapatannya menurun, sebagian karena pendapatan orang belum banyak membaik sejak pandemi. Hal ini lama-lama menjadi kebiasaan di warga China.

“Saya berpikir dengan cara yang sama. Saya juga akan mengontrol keinginan saya untuk berbelanja,” kata Wang. “Di masa lalu, kami biasa makan di luar dan bepergian, yang sekarang tidak kami banyak lakukan.”

Usulan-usulan untuk langkah-langkah dari sisi permintaan dari para ekonom mencakup pelayanan publik yang lebih baik dan lebih luas, manfaat sosial yang lebih tinggi, memberikan lebih banyak kekuatan perundingan hukum kepada pekerja, atau mendistribusikan saham perusahaan milik negara kepada warga negara.

Tetapi siapa yang membayar biaya subsidi ini? Mengingat Pemerintah China tengah dibebankan pukulan lain dari sisi lapangan kerja hingga krisis utang daerah.

Michael Pettis, sesama senior di Carnegie China, menawarkan solusi bahwa jika Beijing memaksa pemerintah daerah untuk mentransfer 1-1,5% dari PDB kepada rumah tangga, China bisa mempertahankan pertumbuhan saat ini.

Pasalnya, Pemerintah daerah, meskipun miskin uang tunai, kaya aset. Aset bersih dari perusahaan milik negara non-keuangan mencapai 76,6 triliun yuan pada tahun 2021.

“Salah satu konflik yang sangat besar kemungkinan akan terjadi antara Beijing dan pemerintah daerah mengenai bagaimana mengalokasikan berbagai biaya penyesuaian. Itu akan menjadi salah satu isu politik paling kontroversial dalam dua tahun mendatang,” tandasnya.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


PHK Ratusan Karyawan, Beban Gaji GoTo Tembus Rp 6,14 T

(ayh/ayh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts