Perusahaan Bangkrut di RI Melesat, Pengamat Sorot Aturan PKPU

Jakarta, CNBC Indonesia – Kasus pailit perusahaan, baik emiten ataupun non-emiten menjadi fenomena baru di Indonesia. Dalam laporan EoDB Bank Dunia yang terakhir dirilis pada 2020, peringkat Indonesia dalam topik resolving insolvency atau penyelesaian kebangkrutan berada di posisi 38 dunia.

Read More

Jika dibandingkan dengan sesama negara di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Thailand yang berada di posisi 24 dan Singapura di peringkat 27.

Menurut Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto hal itu disebabkan bergesernya tujuan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

DIa menilai implementasi UU No. 37/2004 telah bergeser dari tujuan utamanya, sebagai salah satu sarana untuk penyelesaian utang-piutang yang adil, cepat, transparan, dan efektif.

Rizky menilai kehadiran UU No. 37/2004 seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis. Jika debitur benar-benar sudah sangat kesulitan dalam berbisnis dan membayar utangnya, dia bisa memakai mekanisme pengajuan pailit, sehingga fokusnya ke perlindungan debitur.

Namun demikian, menurut Rizky, saat ini UU No. 37/2004 justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur.

“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp 100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit PKPU atau pailit,” tambahnya, dikutip dari keterangan resmi, pada Jumat, (27/10/2023).

Presiden Direktur AJ Capital Geoffrey D. Simms menyatakan, ketidakpastian penyelesaian yang adil dalam putusan kepailitan dikhawatirkan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman. Lembaga keuangan, katanya, mungkin memandang pinjaman kepada individu atau perusahaan di Indonesia lebih berisiko jika mereka tidak yakin tentang prosedur dan perlindungan hukum yang akan diberikan dalam proses kepailitan.

“Oleh karena itu, untuk mengompensasi risiko yang lebih tinggi, mereka mungkin menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian biaya peminjaman akan naik dan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi lebih buruk,” ungkapnya.

Rekor Kasus Pailit

Diketahui, Jumlah permohonan kepailitan dan PKPU meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2019 tercatat hanya 435 pengajuan. Akan tetapi, jumlah permohonan meningkat drastis menjadi 635 permohonan pada 2020 dan mencapai puncaknya pada 2021 dengan 726 permohonan.

Sementara itu, pada 2022, pengajuan permohonan mulai turun menjadi 625 dan pada 2023 (hingga 14 Oktober 2023) menjadi 563 permohonan.

Pada 2021 lalu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat berwacana akan memberlakukan moratorium pengajuan PKPU dan kepailitan. Sebab, undang-undang tersebut selama ini tidak hanya dimanfaatkan debitur untuk merestrukturisasi utangnya, namun justru digunakan para kreditur sebagai bagian dari aksi korporasi mereka.

Pada 2017 lalu, Kelompok Kerja Revisi UU No.37/2004 telah menyusun naskah akademik yang akan digunakan sebagai acuan untuk pembahasan antara pemerintah dan DPR RI. Namun demikian, hingga saat ini pembahasan mengenai revisi UU No. 37/2004 tak kunjung usai, baik di tingkat pemerintah maupun DPR RI.

Sepanjang tahun 2023, sejumlah emiten diketahui terjerat dalam gugatan PKPU. Sebut saja, emiten BUMN Karya PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang digugat PKPU oleh PT Megah Bangun Baja Semesta atas pelunasan utang Rp 29,3 miliar, pada Februari lalu.

Selain itu, ada juga Emiten perhotelan, apartemen, dan pusat perbelanjaan PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI) menerima gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebesar Rp162,35 juta pada Februari.

Dari sektor perusahaan swasta, Juli lalu, PT Tatamulia Nusantara Indah selaku Kontraktor pembangunan Struktur maupun Arsitektur/Finishing Hotel Shangri-La Resort & Spa, The Maj Nusa Dua, Bali melakukan gugatan secara PKPU terhadap PT. Narendra Interpacific Indonesia selaku pengembang hotel, atas honor kontraktor senilai Rp 76,664 miliar yang belum dibayarkan.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


PKPU Berakhir Damai, Sriwijaya Air Mau Galang Dana Lewat IPO?

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts