Sritex Hampir Bangkrut, Ini Penyebab dan Jumlah Hutangnya

Jakarta, CNBC Indonesia – Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex mulai karam tertimbun utang. Padahal Sritex adalah perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun dan sempat berjaya karena kualitas produknya.

Read More

Saat ini SRIL sudah memasuki bulan ke-27 sejak perdagangan saham dihentikan sejak 18 Mei 2022. Perusahaan ini juga telah diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai emiten yang memiliki potensi delisting pada Mei 2023.

Ketentuan bursa menetapkan delisting dapat dilakukan terhadap saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi sekurang-kurangnya 24 bulan terakhir.

Selain suspensi SRIL yang sudah mencapai lebih dari ketentuan yakni 24 bulan, SRIL memiliki masalah kesehatan keuangan akibat utang yang menggunung.

Pada semester I 2023, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset. Ini berarti kondisi SRIL di ambang kebangkrutan sebab jumlah jika hutang jatuh tempo tidak bisa dibayar, bahkan ketika menjual aset pun tidak mampu menutupi semua hutang.

Jumlah liabilitas SRIL adalah sebesar US$1,57 miliar atau Rp23,8 triliun (kurs=Rp15.200/US$). Sementara jumlah aset SRIL hanya US$707,43 juta atau Rp10,75 triliun, sedangkan defisit modal sebesar US$707,46 juta atau sekitar Rp 10,7 triliun.

SRIL menanggung utang jangka panjang yang besar, terutama dari bank dan penerbitan obligasi. Nilainya bahkan jauh lebih besar dari total aset SRIL.

Pada semester I 2023, tercatat utang bank dan obligasi sebesar US$ 1,3 miliar atau setara Rp 19,82 triliun. Secara rinci, utang bank sebesar US$ 935,67 juta atau Rp 14,22 triliun dan obligasi sebesar US$ 368,25 juta atau Rp 5,6 triliun.

Sejarah berdirinya Sritex

Sejarah perusahaan Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.

Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.

Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.

Tak banyak cerita ‘tangan dingin’ Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai ‘raja’ industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.

Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto.

Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.

Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.

“Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI,” tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Terancam Karam! Sritex Catat Rugi Rp 5,93 T, Aset Turun 38%

(mkh/mkh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts