Tak Peduli Ekonomi ‘Gelap’, Bursa Asia Dibuka Cerah

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung menguat pada perdagangan Kamis (5/1/2023), di mana investor cenderung mengabaikan komitmen bank sentral Amerika Serikat (AS) terhadap suku bunga yang lebih tinggi dalam mengatasi inflasi.

Read More

Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka menguat 0,5%, Hang Seng Hong Kong melejit 2,19%, Shanghai Composite China bertambah 0,25%, Straits Times Singapura melesat 1,08%, ASX 200 Australia terapresiasi 0,54%, dan KOSPI Korea Selatan melaju 0,39%.

Dari China, data aktivitas jasa berdasarkan purchasing manager’s index (PMI) versi Caixin periode Desember 2022 akan dirilis pada hari ini, di mana analis dalam polling Trading Economics memperkirakan PMI Jasa China akan turun menjadi 44,5, dari sebelumnya pada November 2022 di angka 46,7.

Bursa Asia-Pasifik cenderung mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Rabu kemarin, yang ditutup cerah.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,4%, S&P 500 bertambah 0,75%, dan Nasdaq Composite terapresiasi 0,69%.

Sentimen sebagian didorong oleh data inflasi yang menggembirakan dari Eropa, termasuk penurunan indeks harga konsumen (IHK) Prancis yang lebih besar dari perkiraan dan penurunan harga impor Jerman.

Di lain sisi, laporan Pembukaan Pekerjaan dan Perputaran Tenaga Kerja di AS atau JOLT pada November 2022, menunjukkan pasar kerja tetap kuat, memperkuat kekhawatiran bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat terus menaikkan suku bunga selama masih ada pasar yang panas bagi pekerja.

Tetapi indeks manufaktur ISM menunjukkan sektor tersebut berkontraksi setelah 30 bulan ekspansi, yang dilihat investor sebagai indikator positif bahwa kenaikan suku bunga sebelumnya memiliki dampak yang diinginkan untuk mendinginkan perekonomian.

“Masih terlalu dini untuk mulai bertaruh pada poros Fed tahun ini dan itu seharusnya membuat lingkungan yang sulit untuk saham,” kata Edward Moya, analis Oanda.

Melihat tenaga kerja masih kuat, maka pejabat The Fed erkomitmen untuk memerangi inflasi dan mengharapkan suku bunga yang lebih tinggi tetap berlaku sampai lebih banyak kemajuan dibuat, menurut risalah yang dirilis kemarin dari pertemuan The Fed Desember 2022.

“Peserta umumnya mengamati bahwa sikap kebijakan yang membatasi perlu dipertahankan sampai data yang masuk memberikan keyakinan bahwa inflasi berada pada jalur penurunan yang berkelanjutan hingga 2 persen, yang kemungkinan akan memakan waktu lama,” berdasarkan ringkasan pertemuan.

“Mengingat tingkat inflasi yang terus-menerus dan tidak dapat diterima, beberapa peserta berkomentar bahwa pengalaman sejarah memperingatkan terhadap kebijakan moneter yang melonggarkan sebelum waktunya.”

Pejabat juga mengatakan mereka akan fokus pada data saat mereka bergerak maju dan melihat “kebutuhan untuk mempertahankan fleksibilitas dan opsionalitas” terkait kebijakan.

Para pejabat lebih lanjut memperingatkan bahwa masyarakat tidak boleh membaca terlalu banyak tentang langkah Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) yang mengatur tingkat suku bunga untuk menurunkan laju kenaikan.

“Sejumlah peserta menekankan bahwa penting untuk mengomunikasikan secara jelas bahwa perlambatan laju kenaikan suku bunga bukan merupakan indikasi melemahnya tekad Komite untuk mencapai sasaran stabilitas harga atau penilaian bahwa inflasi sudah berada di ambang batas. jalur ke bawah yang terus-menerus, “kata risalah itu.

Risalah mencerminkan sentimen tersebut, mencatat bahwa tidak ada anggota FOMC yang mengharapkan penurunan suku bunga pada tahun 2023,

Dengan sikap agresif dari The Fed tersebut maka risiko resesi ekonomi global makin tinggi. Hal ini juga disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahun yang sulit karena mesin utama pertumbuhan global yakni AS, Eropa, dan China, semuanya mengalami aktivitas ekonomi yang melemah.

“Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar – AS, UE, dan China – semuanya melambat secara bersamaan,” tutur Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Kabar Baik Buat IHSG, Wall Street Cerah, Bursa Asia Meroket!

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts