Terimbas Gempa, Saham Turki Ikutan Ambrol..

Jakarta, CNBC Indonesia – Gempa yang mengguncang Turki dan Suriah pada Senin (6/2) lalu ikut menggoyahkan bursa saham negara tersebut. Investor beramai-ramai melego saham Turki seiring adanya ketakutan atas kemungkinan dampak ekonomi akibat gempa bumi ikut merembet ke pasar saham.

Read More

Indeks saham acuan Turki, Borsa Istanbul 100 Index (BIST 100), sempat anjlok 4,99% pada Senin dan sebesar 8,62% pada Selasa (7/2/2023).

Sehubungan dengan itu, pihak Bursa Istanbul pun menghentikan perdagangan saham pada Rabu (8/2) hingga 15 Februari minggu depan setelah aksi jual kembali berlanjut hingga indeks BIST 100 anjlok sebesar 7,1%. Perdagangan hari tersebut pun dibatalkan.

Ini menjadi penghentian perdagangan saham di Istanbul pertama kali sejak 1999 atau 24 tahun lalu.

Bloomberg, pada Selasa (7/2), menyebut, memori 1999, saat gempa melanda pusat industri Turki di dekat Istanbul, bisa jadi turut memantik kepanikan para trader ritel di sana. Waktu itu, perdagangan saham di Turki ditangguhkan selama seminggu.

Namun, langkah otoritas bursa tersebut membuat beberapa pelaku pasar tidak senang. “Memang normal bila setelah sebuah tragedi emosi mengambil alih pemikiran rasional, tetapi menurut saya pasar tidak harus ditutup,” kata Murat Gülkan, kepala eksekutif OMG Capital Advisors di Istanbul, dikutip Financial Times (FT), Rabu (8/2).

Penurunan tajam tersebut membuat indeks saham Turki sudah turun lebih dari 20% sejak menyentuh puncak pada 2 Januari. Secara teknis, indeks dengan kinerja terburuk tahun ini tersebut sudah memasuki bear market.

Merosotnya indeks BIST 100 tahun ini kontras dengan kinerja 2022 ketika berhasil meroket 196% seiring investor mencari ‘perlindungan’ sekaligus cuan di pasar saham domestik di saat inflasi Turki meninggi dan mata uang lira melemah.

Informasi saja, investor lokal saat ini mendominasi kepemilikan saham Turki dengan persentase 70%, dari hanya 35% pada 2020.

Sebelum rontok kala gempa, BIST 100 sebenarnya sudah mulai anjlok minggu lalu lantaran investor khawatir soal pemilu Turki pada Mei mendatang dan sikap anti-mainstrem pemerintah yang tetap menahan suku bunga di level rendah walau inflasi melambung.

“Perubahan pemerintahan mungkin berarti ada fokus yang lebih besar untuk menurunkan inflasi secara lebih substansial dengan tingkat yang lebih tinggi, yang akan berdampak buruk bagi ekuitas,” kata Timothy Ash, ahli strategi pasar negara berkembang di BlueBay Asset Management kepada Financial Times, Rabu (8/2).

Sementara, menurut Sergei Strigo, co-head of emerging market fixed income di Amundi, situasi Turki saat ini terbilang rentan.

“Turki memiliki banyak kerentanan. Cadangan devisa sangat rendah, yang mempengaruhi kinerja aset Turki,” jelas Strigo.

“Turki memang memiliki akses pasar dan rasio utang terhadap PDB-nya masih cukup rendah, tetapi biaya pinjaman meningkat dan investor tidak yakin bank sentral dapat mengendalikan inflasi,” imbuh Strigo.

Sebagai informasi, tingkat inflasi Turki turun menjadi 57,7% pada Januari 2023, membukukan penurunan 3 bulan beruntun setelah sempat menyentuh 85,5% pada Oktober tahun lalu.

Ekonom menyebut, penurunan inflasi tersebut tidaklah signifikan.

“Skala perlambatan [inflasi Turki] tidak mengubah fakta bahwa inflasi tetap sangat tinggi dan sebuah perjuangan bagi orang normal,” kata Profesor Yaprak Gürsoy, ketua studi Turki kontemporer di London School of Economics (LSE) kepada FT.

Lebih lanjut, ekonom pasar negara berkembang di Capital Economics Liam Peach memperkirakan, 10 provinsi Turki yang paling terkena dampak gempa bumi dan gempa susulan setara dengan 15% populasi negeri tersebut, 9 persen dari total PDB, hingga 9 persen dari industri.

Sebelumnya, pada Senin dini hari (6/2) pukul 04.17 waktu setempat, sebuah gempa berkekuatan magnitudo 7,8 melanda Turki selatan dan tengah, serta Suriah utara dan barat. Gempa ini menjadi gempa terbesar dalam 100 tahun terakhir sejak 1939.

Kabar teranyar, korban jiwa akibat gempa besar yang melanda Turki dan Suriah menembus lebih dari 24.000 orang. Hal itu dilansir dariAgence France-Presse(AF), pada Sabtu (11/2/2023).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Pelemahan Rupiah Berlanjut, Ini Efeknya ke Obligasi & Saham

(pgr/pgr)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts