Balik Melemah, IHSG Gagal Cetak Hat-trick

Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Jumat (3/3/23) berakhir di 6.813,63 atau terkoreksi tajam 0,62% secara harian. Dengan demikian IHSG gagal mencatat hat-trick alias penguatan tiga hari beruntun, padahal di awal perdagangan IHSG sempat berada di zona hijau. 

Read More

Sebanyak 292 saham melemah, 215 saham mengalami kenaikan dan 225 lainnya mendatar. Perdagangan menunjukkan nilai transaksi sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 16 miliar saham.

Hari ini IHSG dibuka bergairah namun tak sampai satu jam berbalik arah hingga ditutup di wilayah merah. Artinya pelemahan kali ini sekaligus mengakhiri tren penguatan dua hari perdagangan sebelumnya. Dalam lima hari perdagangan, gap koreksi melebar menjadi 0,63%. Dengan begitu, IHSG kembali menorehkan kinerja negatif mingguan. Sejak awal tahun, IHSG masih membukukan pelemahan 0,54% (year-to-date).

Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia via Refinitiv, sembilan dari total sektor melemah. Sektor konsumen non-primer menjadi sektor yang paling merugikan indeks dengan penurunan hampir 1,5%. Sebaliknya, sektor teknologi terpantau menjadi satu-satunya sektor penahan koreksi menguat 1,31%.

Perdagangan kali ini, IHSG di bebani paling berat oleh Bank Central Asia sebesar 10,69 indeks poin disusul Sumber Alfaria Trijaya sekitar 9,2 indeks. Selain itu, Bank Mandiri membebani 8,3 indeks poin dan Astra International berkontribusi 4,7 indeks poin. Chareon Pokphand, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia juga terpantau memberatkan IHSG 2 indeks lebih.

Sentimen kurang mengenakkan datang dari Amerika Serikat (AS). Aktivitas manufaktur kembali mengalami kontraksi pada Februari dan memperpanjang kontraksi beruntun menjadi empat bulan. Meski demikian, kontraksi ini tidak secepat yang diharapkan oleh ekonom dan analis dengan pabrik yang disurvei menyebut saat ini terlihat adanya tanda-tanda peningkatan permintaan dan percepatan kenaikan harga di bulan-bulan mendatang.

Data ekonomi yang masih relatif tangguh tersebut ditakutkan akan mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut dan menjaganya tetap tinggi demi meredam inflasi. Artinya pelaku pasar sebenarnya mengharapkan perekonomian AS memburuk, agar inflasi tidak menanjak lagi.

Pada penutupan perdagangan Kamis (2/3), indeks utama Wall Street kompak mencatatkan rebound dan ditutup menguat.

Meski demikian obligasi AS kembali melemah pada Kamis, dengan imbal hasil (yield) surat utang negara AS 10 tahun naik menjadi 4,072%, level penutupan tertinggi sejak November. Secara domestik di AS, imbal hasil obligasi tersebut akan mempengaruhi banyak hal, mulai dari student loan hingga KPR rumah.

Sementara itu bagi RI, melonjaknya imbal hasil dapat menjadi berita buruk dengan potensi memicu capital outflow dari pasar obligasi dalam negeri yang tentunya bisa memberikan tekanan bagi rupiah.

Semakin tinggi yield Treasury maka risiko capital outflow semakin besar. Terbukti, sepanjang Februari hingga tanggal 27 aliran modal keluar mencapai Rp 6 triliun. Padahal pada Januari terjadi inflow nyaris Rp 50 triliun.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Longsor di Detik Akhir, IHSG Sudah 5 Hari Terkoreksi

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts